Gen Z, Berkarakter Juara tetapi Susah Cari Kerja?
Oleh : Denik Eka
LenSa MediaNews__ Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2023 sebanyak 9,9 juta orang dengan rincian 5,73 juta orang merupakan perempuan muda sedangkan 4,17 juta orang tergolong laki-laki muda masuk ke dalam kategori tidak sedang belajar, bekerja, dan dalam pelatihan atau Not in Education, Employment, and Training (NEET). Jumlah masyarakat muda berstatus NEET tersebut setara dengan 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun (gen Z) secara nasional pada Agustus 2023 sebanyak 44,47 juta. (Cnbc Indonesia, 27-5-2024)
Gen Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Generasi ini dikenal sebagai digital natives karena tumbuh di era teknologi canggih, seperti internet, smartphone, dan media sosial. Mereka cenderung multitasking, mandiri, berpikir kritis, skeptis terhadap informasi, inklusif, dan lebih menghargai pendidikan yang praktis serta relevan dengan dunia kerja.
Seharusnya, dengan karakter yang demikian tidak sulit bagi gen Z untuk mendapatkan pekerjaan. Lalu apa persoalannya? Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional PPN/Bappenas Maliki mengatakan salah satu faktor penyebabnya adalah salah memilih jurusan. Artinya bidang studi yang dipelajari tidak sesuai dengan kebutuhan di dunia kerja.
Sejatinya pertumbuhan generasi usia produktif saat ini yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan, inilah yang menyebabkan terjadinya kelangkaan lapangan kerja. Sehingga gen Z yang siap bekerja dengan berbagai macam keahliannya, tidak bisa terserap di dunia kerja seluruhnya.
Kelangkaan lapangan kerja menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjamin kesempatan kerja para kepala keluarga atau laki-laki, yang merupakan salah satu mekanisme terwujudnya kesejahteraan rakyat. Pemerintah selama ini membanggakan proyek strategis nasional (PSN) bernilai triliunan rupiah dengan klaim akan menyerap tenaga kerja, tetapi hasilnya ternyata minim. Nilai investasi tidak sebanding dengan lapangan kerja, padahal berbagai regulasi sudah dikemas melalui UU Cipta Kerja demi memuluskan investasi. Begitu juga dengan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ternyata juga gagal menjamin tersedianya lapangan kerja untuk anak negeri. Di sisi yang lain, secara liberal pengelolaan SDAE (sumber daya alam dan energi) sebagian besar diberikan kepada asing dan swasta. Sehingga kekayaan alam yang berlimpah di negeri ini hanya dikuasai oleh segelintir orang.
Inilah buah penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini. Dalam sistem ekonomi kapitalisme hanya mengenal dua konsep kepemilikan kekayaan, yaitu kepemilikan individu atau swasta yang porsinya cukup besar, dan kepemilikan negara. Mekanisme pendistribusian kekayaannya dilakukan melalui mekanisme harga yang menjadi penentu daya beli dan konsumsi masyarakat. Distribusi ditentukan oleh kebebasan kepemilikan, kemampuan bekerja, dan perolehan harta yang dilakukan oleh tiap individu atau swasta. Sangat dimungkinkan terjadi hukum rimba di dalamnya. Siapa yang kuat, maka dia akan bisa bertahan dan menguasai ekonomi. Siapa yang lemah, maka dia akan tersingkir.
Sistem ekonomi Islam mempunyai pandangan berbeda tentang hal ini. Selain kepemilikan individu dan negara, ada kepemilikan umum. Sumber daya alam dan energi merupakan milik umum. Swasta dan asing dilarang mengelolanya. Apabila membutuhkan tenaga ahli asing, maka cukup dengan memperkerjakannya saja tanpa menyerahkan pengelolaan seutuhnya kepada mereka. Pengelolaan SDAE akan dilakukan oleh negara, dan hasilnya akan dikembalikan seluruhnya kepada rakyat tanpa menghitung untung rugi. Hal tersebut meniscayakan tersedianya lapangan kerja yang memadai dan juga jaminan kesejahteraan untuk rakyat.