Cara Islam Mencegah Pejabat Korup dan Khianat (Bagian 2)
Oleh: Lia Fakhriyah
LenSa MediaNews__ Tugas Rasulullaah ﷺ adalah menyampaikan perintah Allah kepada manusia, dan perintah tersebut untuk dilaksanakan manusia. Maka saat Allah memerintahkan manusia untuk mencari ilmu, bukan untuk memperkaya diri, namun ilmu itu untuk menjadikannya semakin tahu Allah ﷻ, dan menjadi bahan untuk mengendalikan diri, dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai-Nya. Konsekuensinya adalah tugas manusia untuk mempelajari Al-Qur’an, untuk dipahami dan dilaksanakan.
Maka langkah kedua adalah mempelajari Al-Qur’an dan memahaminya. Ini bisa dibantu dengan mempelajari shirah Rasulullaah ﷺ, maka akan terlihat bagaimana implementasi Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullaah mencontohkan bagaimana mengatur negara sesuai Al-Qur’an. Dan dilanjutkan oleh para khalifah, pengganti Rasulullaah ﷺ dalam kapasitasnya sebagai pemimpin yang menerapkan Al-Qur’an.
Semua lengkap mencerminkan kehidupan pemimpin yang menjadikan amanah yang ada dalam tangannya itu untuk menjaga diri dan warga negara menjadi makhluk yang taat kepada Allah. Kekuasaan diberikan rakyat kepada pemimpin Islam tidak menggunakan uang, tapi karena kepercayaan rakyat, bahwa orang yang mereka percayai tersebut akan amanah mengatur negara sesuai dengan aturan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya pemilihan ini dilakukan berdasarkan standar pemahaman terhadap agama yang dimiliki oleh rakyat dan calon pemimpin, serta ketakwaan yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari saat rakyat berinteraksi dengan mereka. Konsekuensinya adalah rakyat dan pemimpin merupakan orang-orang yang paham bahwa aturan bernegara harus menggunakan aturan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk di dalamnya bentuk-bentuk pencegahan bagi manusia untuk melakukan maksiat, berupa sanksi yang tegas, membuat jera, dan membuat orang lain tercegah melakukan maksiat. Yang luarbiasanya lagi sanksi yang diberikan akan membuat pelaku maksiat itu tidak perlu diberikan siksa akhirat, karena sanksi dunia bisa menjadi penebus siksa akhirat.
Langkah ketiga yang perlu dilakukan adalah dengan mendakwahkan apa yang menjadi keyakinan di atas, untuk mengajak manusia meraih kehidupan bahagia yang hakiki. Al-Qur’an dan As-Sunnah butuh pemimpin yang menerapkannya. Kekuasaan dalam Islam bukan suatu hal yang tabu. Justru Islam butuh kekuasaan, agar Al-Quran dan As-Sunnah bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullaah ﷺ mencontohkan bagaimana beliau mencari kekuasaan, dengan menghubungi kabilah-kabilah yang datang ke Makkah, saat musim haji di masa jahiliyah. Beliau menawarkan diri beliau untuk menjadi pemimpin mereka. Sampai berita ini didengar oleh penduduk Yatsrib, dan merekalah kabilah yang menerima kepemimpinan beliau ﷺ. Setelah itu Rasulullaah ﷺ dan kaum muslimin melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah) dan akhirnya menjalankan kehidupan di bawah naungan Al-Qur’an di bawah kepemimpinan beliau ﷺ. Sebagai bentuk mengikuti perbuatan Rasulullaah ﷺ, kekuasaan yang dimiliki kaum muslimin digunakan sehingga kita bisa melaksanakan surat Al-Baqarah: 208,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Mengajak muslim untuk bersatu karena Allah, sebab sejatinya kaum muslim itu bersaudara (QS Al-Hujurat: 10) dan melarang kita berpecah belah (QS Ali Imran: 103). Hal ini bisa dilakukan jika ada pemimpin yang mempersatukan kita. Dengan keimanan dan ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka rakyat akan menjalankan kehidupan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin yang diangkat pun akan menjalankan kekuasaan dengan landasan keimanan, sebab kehidupan akhirat yang membahagiakan, menjadi penghalang bagi mereka dari berbuat korup dan khianat.