Bangga Membangun Negara dengan Memaj(l)ak?
Oleh: Sri Ratna Puri
Anggota WCWH
LenSa Media News–Baru-baru ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memamerkan hasil penerimaan pajak yang terus membaik. Hal ini disampaikan pada saat ia memberikan sambutan di acara Spectaxcular 2024, di GBK, Jakarta, Minggu (14/07/2024).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pajak didefinisikan sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Adapun jenis-jenis pajak, di antaranya: Pajak Pusat dan Pajak Daerah.
Pajak Pusat dikelola oleh Pemerintahan Pusat meliputi: Pajak Penghasilan (Pph), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Pajak Karbon. Sedangkan Pajak Daerah meliputi: Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Hotel dan Perkantoran (PHR), dan lain-lain.
Wajar, bila dikatakan, bahwa pajak sebagai tulang punggung pembangunan negara. Sebab, dalam negara yang mengusung sistem ekonomi kapitalisme, pajak menduduki urutan pertama sebagai sumber pendapatan negara. Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah artikel: Pajak menjadi salah satu pondasi utama dalam memajukan ekonomi negara dan menyediakan dana untuk berbagai kepentingan publik (bpTaxand.com, 31/08/2023).
Ini menjadi masalah pertama. Yakni, terkait paradigma yang menjadikan pajak sebagai salah satu pondasi utama ekonomi negara yang dipungut dari penduduk secara wajib, tanpa melihat begitu luas dan melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia, mulai dari laut yang menyimpan kekayaan baik dari jenis ikan maupun kandungan-kandungan yang tersimpan di permukaan sampai laut dalam, sementara daratan yang luas meliputi hutan dan barang tambang berupa minyak, nikel, emas, dan lain-lain., belum ditambah dengan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang menduduki peringkat nomor empat di dunia, bila diasah secara maksimal, tergambar berapa dahsyatnya potensi yang ada. Kita pasti kaya raya.
Masalah kedua: Di setiap akan menaikkan pajak, selalu beralasan sebagai amanat Undang-undang, sementara kondisi masyarakat tak dipedulikan. Khususnya masyarakat menengah ke bawah, yang tak bisa berbuat apa-apa, selain pasrah menerima. Seperti pasca dihajar pandemi Covid, kondisi ekonomi dunia luluh lantak tak berdaya. Namun, terhitung sudah beberapa kali pajak dinaikkan, seperti pada kenaikan PPh 35% pada pendapatan di atas 5 M, PPN dari 10% menjadi 11 % (rencana di tahun ini menjadi 12%), Pajak Karbon, dan lain-lain.
Masalah ketiga: Tax amnesty. Sebagaimana sempat ramai diperbincangkan, bahwa pemerintah memberikan pengampunan pajak kepada para pengusaha. Alasannya, kebijaksanaan ini diambil agar dapat memperbaiki nilai tukar rupiah melalui pengalihan harta. Padahal, bagian dari pengusaha itu, bisa jadi penguasa itu sendiri.
Keempat: Pajak sebagai alat memalak rakyat. Banyak orang merasa hidup semakin berat. Apa-apa serba mahal. Biaya kebutuhan sehari-hari, seperti makan, sekolah, berobat, listrik, air, dan lain-lain, ditambah harus membayar pajak kendaraan, bangunan, penghasilan. Sedangkan faktanya, banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski memiliki kendaraan roda dua, itu pun karena mengangsur dari leasing. Sedangkan tempat tinggal, masih menumpang hidup di kontrakan, kerjaan pun tak tetap. Terlebih masalah penghasilan, PHK mengintai.
Maka, seharusnya para penguasa negeri ini jangan berbangga hati melihat angka pemasukan pajak tinggi. Sebaliknya, harus intropeksi diri dan mencari solusi. Agar tak terus-terusan memalak rakyat dengan pajak. Kembalikan pajak sebagai pungutan tak tetap, diberlakukan saat negara kekurangan biaya dan hanya bagi orang-orang kaya, bukan orang melarat yang hampir sekarat. Begitu yang Rasulullah lakukan, dan para Khalifah melanjutkan. Wallahu alam. [LM/ry].