Nilai Impor dari Israel Meningkat, Menyakitkan!

Oleh Ummu Zhafran

Pegiat Literasi

 

LenSa Media News–Miris. Di tengah genosida yang masih berlangsung, terungkap fakta menyakitkan. Setidaknya hal tersebut dikatakan MUI (Majelis Ulama Indonesia) saat menanggapi nilai impor dari Israel ke negeri ini yang terus meningkat (republika,co.id, 2/7/2024).

 

Masih dari sumber yang sama, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lonjakan tajam impor dari negara Zionis Israel ke Indonesia sebesar hampir 340 persen pada Januari-April 2024 dibanding tahun lalu pada bulan yang sama. Nominalnya sebesar 24,52 juta Dolar AS. Sementara tahun lalu hanya 1,87 juta Dolar AS.

 

Wajar bila MUI meradang. Bukan hanya MUI, segenap umat muslim Indonesia seharusnya juga merasakan hal yang sama. Penyebabnya tentu rasa empati yang sangat mendalam terhadap saudara-saudara seakidah di Palestina.

 

Apa salah dan dosa mereka hingga harus mengalami genosida sedemikian brutal? Lalu layakkah kita sebagai negeri mayoritas muslim menjalin hubungan ‘mesra’ dengan negara Israel yang notabene biang keroknya, meski sebatas sektor perdagangan? Benar kata MUI, sekali lagi hal itu menyakitkan!

 

Andai ketentuan agama (syariat) tak dipisahkan dari kehidupan, tentu Alqur’an yang jadi pedoman. Di dalamnya sangat jelas firman Allah Swt. yang terjemahannya,“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara….”(TQS Al Hujurat:10)

 

Imam Ibn Katsir menjelaskan tafsir ayat ini cukup dengan mengutip hadis sahih dari Rasulullah saw., salah satunya seperti di bawah ini, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam persahabatan kasih sayang dan persaudaraannya sama dengan satu tubuh; apabila salah satu anggotanya merasa sakit, maka rasa sakitnya itu menjalar ke seluruh tubuh menimbulkan demam dan tidak dapat tidur (istirahat).” (Muttafaq ‘alaih)

 

Tak hanya soal persaudaraan, Islam juga memiliki pandangan yang lugas terkait aspek perdagangan luar negeri.

 

Dalam pandangan Islam yang dijelaskan kitab Politik Ekonomi Islam karya Abdurrahman Al Maliki, geopolitik dunia bisa dipetakan menjadi dua bagian. Darul Islam (wilayah naungan Islam) dan Darul Kufur (bukan wilayah Islam).

 

Adapun Darul Kufur terbagi dua, yaitu kafir harbi fi’lan kafir yang terang-terangan memerangi Islam dan kaum muslim, seperti halnya negara zionis Israel, serta kafir harbi hukman yaitu yang tidak memerangi Islam dan kaum muslim secara terang-terangan namun dinilai Islam berpotensi ke arah sana.

 

Maka relasi perdagangan luar negeri dalam Islam diatur berdasarkan geopolitik tadi. Negara misalnya, tidak diperkenankan menjalin interaksi apa pun dengan negara harbi fi’lan termasuk ekspor dan impor komoditi dagang. Karena jihad fisabillillah satu-satunya yang jadi jawaban atas tindakan mereka memerangi Islam dan kaum muslimin.

 

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. …”(TQS Al Anfal:60)

 

Islam mewajibkan pula negara mengelola dan mengatur kekayaan alam milik umum, seperti tambang, minyak bumi, gas alam, dan sebagainya dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat. Selain itu, negara wajib mengupayakan dengan sungguh-sungguh kemampuan untuk menjadi bangsa produsen.

 

Agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi sendiri secara maksimal tanpa perlu melakukan impor. Bila terjadi surplus barang yang diproduksi, negara dapat mengekspornya yang pendapatannya akan disimpan di Baitulmal untuk nantinya kembali dikelola untuk kemaslahatan rakyat. Kalau pun harus impor, negara bertugas memastikan komoditas yang diimpor harus halal dan tidak mendatangkan mudarat di tengah masyarakat.

 

Demikian sekelumit gambaran pengaturan dari Islam terkait impor dan ekspor. Dari sini saja dapat terlihat betapa syariat Islam harus diadopsi secara kafah, totalitas dalam kehidupan individu, masyarakat hingga bernegara. Karena Islam memang diturunkan untuk mengatur umat manusia. Sayangnya, saat ini berlangsung justru sebaliknya. Syariat diabaikan, bahkan dinilai absen dalam menghadirkan solusi tuntas terkait problematik manusia.

 

Baiknya mari merenungkan pernyataan salah satu pakar ekonomi syariah, Nida Sa’adah, bahwa di balik jargon pasar bebas global yang memungkinkan impor dan ekspor digenjot ugal-ugalan, ada motif yang dituju. Yaitu agar terbuka pasar bagi produk-produk dan investasi mereka.

 

Berikutnya, hegemoni alias penguasaan negara-negara kapitalis global dapat terjaga. Syariat tetap dipinggirkan hingga bangkitnya kedigdayaan Islam sekali lagi memimpin dunia dapat dihadang. Tapi satu hal yang terlupa, adakah yang bisa menghalang terbitnya matahari dan datangnya musim semi jika Allah telah berkehendak? Wallahualam. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis