Menyikapi Fenomena ‘Malin Kundang’ Era Modern

                    Oleh: Ummu Zhafran

                           Pegiat Literasi

 

LenSa Media News _ Opini _ Tentu banyak yang tahu kisah legenda Malin Kundang, si Anak Durhaka. Tapi sedikit yang bisa menduga di era modern saat ini marak fenomena mirip dengan perbuatan Malin. Bedanya, dalam cerita Malin dulu dikutuk ibunya jadi batu. Malin sekarang justru tak segan menghabisi nyawa orang tua sendiri. Tragis.

 

 

Kasus seorang anak tega membunuh sang ayah yang menderita stroke di Lampung dan seorang bapak pedagang perabot yang ditusuk kedua putri kandungnya di Jakarta hanya dua di antara banyak kasus serupa. Penyebabnya sama, karena kesal dan sakit hati. Pertama, kesal selalu diminta mengantar ke kamar mandi dan kasus kedua sakit hati dimarahi akibat kedapatan mencuri (liputan6.com, 23/6/2024).

 

Peristiwa di atas seolah membenarkan kata pepatah, kasih anak memang hanya sepanjang galah. Perbuatan keji yang dilakukan tersebut, dengan alasan apa pun pastinya tak dapat dibenarkan. Bagaimana mungkin seorang anak yang notabene diciptakan Allah dari darah dan daging kedua orang tuanya, setelah besar justru sampai hati mengakhiri hidup orang tuanya sendiri.

 

Lepas dari kenyataan adanya orang tua yang memang toksik menelantarkan anak, namun tentu hal itu berlaku kasuistik. Masih jauh lebih banyak bapak dan ibu yang tulus menyayangi buah hatinya semata karena Allah. Sungguh tak layak mendapat balasan kedurhakaan dari sang anak. Hal ini diakui dalam Islam. Sehingga merawat orang tua, ditetapkan Islam sebagai kewajiban bukan sekadar rasa sayang yang sifatnya naluriah.

 

Sebagai ideologi yang sempurna, kewajiban berbakti pada orang tua kerap disandingkan Islam dengan perintah beriman pada-Nya.

 

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua. (QS An-Nisa: 36)

 

Rasulullah saw. juga pernah bersabda,

 

Rida Allah ada pada rida kedua orang tua. Murka Allah ada pada murka kedua orang tua.” (HR At-Tirmidzi).

 

Bahkan sekadar memandang wajah keduanya dengan rasa cinta dan kasih sayang dapat berbuah pahala. Dari Imam al-Hasan rahimahullaah,

 

Sungguh sekadar memandang wajah ayahmu atau ibumu itu termasuk ibadah (berpahala).” (Ahmad bin Hanbal, Az-Zuhd, hlm. 213).

 

Bila kedua orang tua sudah wafat, birrul walidain tetap dapat dilakukan. Antara lain dengan senantiasa mendoakan kebaikan untuk keduanya, bersedekah atau berwakaf atas namanya.

 

Sayang seribu sayang, pemahaman di atas harus diakui lambat laun terabaikan. Akibat dari sekularisme yang mulai mengakar, yang memisahkan norma agama dari kehidupan. Relasi anak dan orang tua yang sebelumnya penuh kasih sayang dan bernilai ibadah perlahan berubah sebatas materi belaka. Tak jarang orang tua hanya bertindak sebagai sumber pendapatan bagi anak, minus nasehat, reward, pembinaan dan pendidikan yang bila anak melanggar harus siap mendapat sanksi. Padahal seluruhnya merupakan hak anak yang kerap disalah artikan hanya sebatas nafkah berupa uang saja.

 

Ketika syariat dipisahkan dari kehidupan, wajar bila materi dan hawa nafsu yang jadi tujuan. Hal itulah yang mewujud dalam ideologi kapitalisme, yang menjadikan standar kebahagiaan ada pada harta yang berlimpah bukan pada ketaatan pada Allah Swt. dan Rasulullah saw.

 

Akibatnya, alih-alih mencetak generasi yang paham dan mengamalkan birrul walidiyn, justru terbentuk generasi abai pada syariat, rapuh dengan emosi yang mudah meletup tanpa kendali. Perkara sepele saja tak sedikit yang berujung tragedi seperti kasus di atas.

 

Kapitalisme dengan sekularisme yang jadi asasnya terbukti secara masif gagal memanusiakan manusia sesuai akal dan fitrah yang diberikan Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Jadilah generasi yang rusak dan merusak, gagap mengolah akal dan emosi.

 

Maha Benar Allah Swt. ketika mewahyukan kepada Rasulullah saw. Al-Qur’an yang memuat kisah Luqman menasihati anaknya untuk mengutamakan akidah, keyakinan kepada Allah di atas segalanya. Inilah yang kemudian juga menjadi landasan sistem Islam, termasuk sistem pendidikan di dalamnya yang wajib diterapkan secara kaffah oleh negara.

 

Manifestasi penerapan Islam yang berlandas akidah, bisa terlihat saat ada orang tua yang ditelantarkan anaknya. Maka terbentuk keyakinan di tengah umat bahwa bukan saja Allah akan murka pada mereka, tetapi negara juga akan menegur dan memaksa mereka untuk merawat orang tua sebaik-baiknya.

 

Ada pun ketika anak tidak bisa merawat orang tuanya karena sudah lanjut usia atau sakit-sakitan, dalam hal ini negara dengan Khalifah sebagai pemimpinnya bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan orang tua tersebut dan merawatnya dengan layak. Karena memang pemimpin telah diangkat oleh kaum muslimin untuk me-ri’ayah/memelihara urusan umat. Dengan begitu sebagian beban rakyat akan terangkat karena peran negara hadir mengurusi rakyatnya. Wallahua’lam.

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis