Politik Transaksional adalah Keniscayaan dalam Demokrasi
Oleh: Nurma Wuriana, S.Psi
Lensa Media News – Belakangan, publik ramai mempertanyakan mengenai penunjukkan sejumlah pendukung Prabowo dan orang-orang dekat Presiden Jokowi sebagai komisaris dan direktur di berbagai BUMN. Grace Natalie, mantan petinggi TKN (Tim kampanye Nasional) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Pada senin (10/6/2024) ditetapkan masuk jajaran komisaris di PT. Mineral Industri Indonesia. Bersamaan dengannya, Fuad Bawazier politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang sempat menjadi anggota dewan pakar TKN, diangkat jadi komisaris utama MIND ID, yang adalah induk BUMN tambang, dan masih banyak lainnya (bbc.com,14-06-2024).
Publik ramai mempertanyakan keputusan pemerintah mengangkat nama-nama itu menjadi komisaris di sejumlah BUMN karena dinilai tidak memiliki latar belakang yang sesuai untuk memegang jabatan itu. Pengamat menilai ada indikasi penyalahgunaan kekuasaan dari praktik “bagi-bagi jabatan” ini,
Pengamat dan aktivis menilai “politik balas budi” semacam ini bisa menurunkan kinerja BUMN dan akhirnya merugikan negara. Penunjukan sejumlah politisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai komisaris di perusahaan perusahaan pelat merah dianggap sebagai bentuk konflik kepentingan.
Penempatan jabatan di sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak didasarkan pada profesionalisme dan kompetensi yang memadai diyakini akan memengaruhi tata kelola perusahaan, merusak budaya profesionalitas, dan menimbulkan spekulasi bisnis yang negatif.
Survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) pada Maret 2021 menunjukan sebanyak 14,73 persen jabatan komisaris BUMN diisi oleh tokoh berlatar belakang relawan calon presiden hingga anggota partai.
Angka ini setara dengan 71 dari 482 komisaris saat itu. Selain itu, terdapat 51,66 persen kursi komisaris yang diduduki pejabat birokrasi sebagai perwakilan pemerintah selaku pemegang saham BUMN. Sedangkan dari kalangan profesional hanya sekitar 17,63 persen. Sisanya berasal dari aparat penegak hukum, personel militer dan mantan menteri.
Egi Primayogha, koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), mengatakan masalah mendasarnya ada di mentalitas yang menempatkan politik sebagai alat “bagi-bagi kue kekuasaan” alih-alih untuk menegakkan kepentingan orang banyak (VOAIndonesia.com,14-06-2024).
Fenomena “balas budi” terhadap partai politik atau aktor di parpol yang memberi dukungan kemenangan sudah lama terjadi, terutama pasca pemilu.jika BUMN ingin dikelola dengan profesional dan baik, harus dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi.
Politik transaksional adalah keniscayaan dalam demokrasi, karena semua dinilai dari manfaat dan materi yang didapat. Kerjasama juga karena ada kepentingan atau imbalan yang hendak diraih.
Akibatnya tidak perlu standar termasuk dalam hal kemampuan dan kompetensi kapabilitas hingga akhirnya merugikan negara dan perusahaan tersebut karena dipegang oleh orang orang yang tidak kompeten.
Islam menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanat yang akan diminta pertanggungjawaban di akherat kelak. Ada dimensi ruhiyah yang sangat diperhatikan.
Dengan diterapkannya hukum Islam maka tidak ada lagi politik transaksional atas nama balas budi yang ada hanyalah menentukan pejabat dan penguasa yakni yang memiliki kapabilitas agar dapat menjalankan perannya dengan optimal sehingga dapat membawa kemajuan bagi negara dan menaikkan kesejahterakan rakyat, sekali lagi hal ini dapat terjadi hanya bila diterapkan Hukum Islam dalam level negara dan pemerintahan.
[LM/nr]