Agar Historis Tidak Ternodai Mistis

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si

 

LenSa Media News–Tradisi Ngumbah (nyuci) Tugu Kujang, yang merupakan ikon Kota Bogor, kembali menjadi salah satu agenda peringatan Hari Jadi Bogor (HJB) ke 542. Tradisi tahunan yang rutin dilakukan sejak tahun 1990 tersebut, berlangsung selama empat hari.

 

Setiap harinya ada 20 personel gabungan yang bertugas mencuci bagian atas, tengah, dan bawah secara bergantian. Cecep Thoriq, selaku ketua pelaksana ketua seremonial mengungkapkan bahwa tradisi tersebut ditujukan untuk pelestarian seni dan budaya leluhur Bogor agar saling menghargai sebagai wilayah multi etnis (rri.co.id, 13/06/2024).

 

Berhati-hatilah Menjalankan Tradisi!

 

Dalam proses babakti ngumbah Tugu Kujang tersebut, air yang digunakan berasal dari tiga mata air yang berada di dekat kawasan tugu, yang dianggap sebagai titik-titk air sungai tertua.

 

Mengacu pada penuturan Cecep Thoriq, pencucian tersebut agar Tugu Kujang menjadi dingin dan selama proses pencucian diharapkan tidak turun hujan. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa Tugu Kujang merupakan benda pusaka yang perlu dipelihara dengan dibersihkan bersama oleh seluruh elemen masyarakat (liputan6.com, 27/05/2015).

 

Mencuci monumen tersebut dengan air tertentu yang dianggap memiliki keistimewaan berdasarkan kepercayaan turun-temurun dari leluhur, bisa menggelincirkan kita pada kesyirikan.

 

Sementara kesyirikan adalah dosa besar yang tidak akan diampuni Allah Swt.  Oleh karenanya kita harus sangat berhati-hati dengan tradisi leluhur, mempelajarinya dengan benar untuk memastikan tradisi tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.

 

Sebetulnya jika kita mempelajari sejarah Tugu Kujang ini dengan sudut pandang yang benar, nilai historisnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kekuatan mistis atau supranatural. Tugu Kujang sejatinya adalah simbol semangat perjuangan rakyat melawan penjajahan di masa lalu.

 

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis.

 

Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang merupakan peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

 

Fungsi kujang sebagai peralatan pertanian lantas berubah ketika bangsa asing datang menjajah Nusantara. Warga Sunda yang ketika itu belum memiliki persenjataan yang cukup lengkap dan modern, akhirnya terpaksa menggunakan senjata seadanya untuk melawan para penjajah tersebut. Kujanglah yang dipilih menjadi senjata utama melawan penjajah dan mempertahankan kekuasaan wilayah (bogor.today, 10/07/2022).

 

Sehingga sudah sepatutnya Tugu Kujang ini dilestarikan sebagai bangunan bersejarah simbol semangat perjuangan melawan penjajahan di masa lalu, yang teknis perawatannya cukup menggunakan standar perawatan bangunan seperti pada umumnya.

 

Islam Menjaga Akidah Umat dari Benih Kesyirikan

 

Islam datang menghapuskan semua bentuk kesyirikan. Dibutuhkan adanya pemimpin dan institusi negara yang mengelola pembangunan monumen, menjaga agar tidak mengantarkan warganya pada kesyirikan. Seperti yang dilakukan Rasulullah Saw. selaku kepala negara Islam (Madinah) di peristiwa Fathu Mekkah. Beliau menghancurkan tak kurang dari 360 berhala yang berserakan di dalam maupun luar Ka’bah, serta menghapus gambar-gambar di dalamnya.

 

Kebenaran ajaran tauhid akan selalu ditanamkan seorang pemimpin kepada rakyatnya, seperti yang dilakukan Rasulullah Saw. Pada masa kehidupan Beliau dan para sahabat, ketika mereka menjumpai berbagai benda yang berbeda dari yang semestinya, seperti batu, pohon dan yang lainnya, mereka tidak pernah mengkeramatkannya atau menganggapnya mempunyai kekuatan supranatural.

 

Contohnya kisah sebuah batu di Mekkah yang bisa memberikan salam kepada Rasulullah Saw. sebelum Beliau diangkat menjadi Rasul. Ketika Beliau sudah diangkat menjadi rasul dan mengetahui batu itu masih ada, Beliau dan para sahabat yang mengetahui hal tersebut tidak pernah berburu mencari batu tersebut untuk dibawa pulang ataupun digunakan sebagai jimat.

 

Terkait kisah batu ini, Al-Manawi rahimahullah mengatakan bahwa ucapan salam ini adalah ucapan salam yang hakiki. Allah Taala membuatnya bisa berbicara sebagaimana Allah juga membuat batang kurma yang bisa bicara.

 

Maknanya adalah keistimewaan yang dimiliki suatu benda adalah atas ijin Allah, yang seharusnya makin menguatkan keimanan kita dan meningkatkan ketaatan kita terhadap seluruh syariatNya, dan bukannya malah mengkeramatkan benda tersebut. Maasyaa Allah, allahummanshuril bil Islam. Wallahualam bissawab. [LM/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis