UU KIA Sah, Ibu dan Anak Sejahtera?

Oleh : Mimin Aminah

Ibu Rumah Tangga

 

 

LenSa Media News–Kementrian Ketenagakerjaan menyambut baik atas Rencana Undang Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak pada fase seribu hari pertama kehidupan menjadi Undang Undang. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenegakerjaan (Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker) Indah Anggoro Putri, menyebutkan UU KIA diyakini akan semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja dan buruh.

 

Secara spesifik, beberapa pengaturan dalam UU KIA yang berhubungan dengan ketenagakerjaan adalah cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja. Selain itu setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya, apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter, selama masa cuti tersebut mereka berhak atas upah yang dibayar penuh untuk 3 bulan pertama dan bulan ke 4, kemudian 75% dari upah untuk bulan ke 5 dan bulan ke 6, selain itu mereka yang mengambil cuti tersebut tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan aturan-aturan ketenagakerjaan.

 

Selain ibu yang melahirkan, UU KIA juga mengatur hak suami untuk cuti pendampingan istri pada masa persalinan yaitu selama 2 hari dan dapat diberikan paling lama 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan. (Detiknews.Com 7/6/2024).

 

Pengesahan RUU KIA menjadi UU dianggap membawa angin segar bagi perempuan untuk dapat tetap berkarier karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja sehingga menguatkan pemberdayaan ekonomi perempuan sebagaimana paradigma kapitalis bahwa perempuan produktif adalah perempuan yang bekerja.

 

Secara sepintas memang UU KIA ini seolah-olah dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan bagi ibu dan anak namun apa benar bisa menjamin kesejahteraan bagi ibu dan anak? Karena kenyataannya tak seindah yang dibayangkan, pada saat ini susahnya lapangan pekerjaan untuk para suami menyebabkan istri atau ibu harus menanggung beban ekonomi keluarga sehingga setelah 6 bulan, istri atau ibu harus tetap bekerja, bisa dibayangkan betapa beratnya beban ibu, sudahlah terbebani secara mental karena harus meninggalkan anak bayi, ditambah lagi terbebani dengan menanggung nafkah keluarga, lantas dimana sejahteranya?

 

Beginilah hidup di negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan yang memandang kesejahteraan ibu dan anak mengacu pada pencapaian materi saja, karena itu, ibu tetap harus bekerja meski sedang memiliki bayi yang seharusnya butuh perhatian dalam tumbuh kembangnya.

 

Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang memandang kesejahteraan tidak dilihat dari segi pencapaian materi tapi dilihat dari aspek ruhiyah, oleh karena itu ibu disebut sejahtera bukan karena bisa menghasilkan uang tapi ketika ia bisa menjalankan tugas yang telah Allah SWT tetapkan baginya, yaitu sebagai pengasuh dan pendidik bagi anaknya, ia bisa mencurahkan seluruh cinta dan kasih sayangnya dalam mendidik anaknya tanpa dibebani tekanan ekonomi.

 

Karena itu, negara di dalam Islam akan menjamin lapangan pekerjaan bagi suami sehingga ia bisa menafkahi keluarganya, sehingga seorang ibu bisa fokus mengasuh dan mendidik anaknya. Dan juga semua hal yang dibutuhkan untuk mencetak generasi yang cemerlang akan disediakan oleh negara mulai dari pendidikan, kesehatan, keamanan semuanya dijamin negara.

 

Maka hanya dengan sistem Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak secara hakiki bukan hanya seribu hari tapi sejahtera sepanjang hidupnya. Wallahu alam bishawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis