IdulAdha Kembali Beda, “Gak Bahaya Ta”?
Oleh: Sabila Herianti
LenSaMediaNews – Perbedaan hari raya IdulAdha di beberapa negeri Muslim kembali terjadi pada tahun ini, 2024/1445 hijriyah. Mahkamah Agung Arab Saudi mengumumkan, awal Dzulhijjah 1445 H jatuh pada Jumat (7/6/2024), berarti IdulAdha jatuh pada Ahad (16/6/2024). Sementara puncak haji wukuf di Arafah akan dilaksanakan pada hari ini, yaitu pada Sabtu (15-6/2024). Namun, fakta hari ini menunjukkan, beda negara beda IdulAdha. Di Indonesia dan di beberapa negeri Muslim lainnya, hari raya IdulAdha justru ditetapkan jatuh pada hari Senin (17/6/2024). (khazanah republika.co.id, 15-06-2024)
Para ulama mujtahid telah berbeda pendapat dalam hal ru’yat atau penentuan hari raya IdulFitri. Seperti madzhab syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali menganut ru’yat global, yaitu mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum muslim di dunia. Artinya, apabila hilal sudah terlihat atau ru’yat sudah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat tersebut berlaku untuk kaum Muslim di seluruh dunia, meskipun hilal belum terlihat di bagian bumi lainnya.
Namun, beda halnya dalam penetapan hari raya IdulAdha. Dalam penetapannya tidak ada khilafiyah atau perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Sebab, seluruh ulama madzhab telah sepakat bahwa hari raya IdulAdha ditetapkan berdasarkan ru’yat global. Ru’yat global yang dimaksud merupakan ru’yat dalam penentuan awal Zulhijjah yang dilaksanakan di tempat pelaksanaan ibadah haji, yaitu kota Mekkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh wilayah di dunia. Lantas, mengapa masih timbul perbedaan dalam penentuannya?
Disadari atau tidak, perbedaan penentuan hari raya yang berulang kali terjadi ini dikarenakan masih adanya ikatan nasionalisme diantara kaum Muslim. Ikatan nasionalisme merupakan ikatan yang sangat tidak layak ada dalam diri kaum Muslim. Sebab, ikatan ini telah memecah belah umat Muslim yang awalnya merupakan umat yang satu menjadi terpisah dan terkungkung oleh nation state. Juga membuat mereka berani beda dalam penentuan hari raya IdulAdha. Tidak hanya itu, ikatan ini pula yang membuat mereka abai terhadap persoalan-persoalan yang menimpa saudara-saudara Muslim mereka di belahan bumi lainnya.
Betapa bangganya mereka memegang erat ikatan ini dengan dalih cinta tanah air sebagian dari iman. Padahal, ikatan ini atau ikatan nasionalisme merupakan ide yang berasal dari barat yang sengaja dihembuskan ke tengah-tengah kaum Muslim supaya mereka terpecah-belah, sehingga membuat dunia Islam tidak lagi memiliki kekuatan politik dan tidak lagi disegani. Dampaknya, para penjajah mampu terus ‘menjajahi’ wilayah-wilayah Islam yang sudah terkotak-kotak menjadi negara kebangsaan ini.
Perlu diketahui, kalimat ‘cinta tanah air sebagian dari iman’ hanyalah propaganda pemecah-belah kaum Muslim, dan bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berikut ini:
“Bukanlah bagian dari golonganku orang yang menyerukan ‘ashabiyah, bukanlah golonganku orang yang berperang karena ‘ashabiyah, dan bukan golonganku orang yang mati atas dasar ‘ashabiyah,” (HR. Abu Dawud)
Berdasarkan hadist tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umat Muslim memiliki ‘Ashabiyah, yaitu perasaan fanatisme golongan dalam diri mereka, termasuk kesukuan dan nasionalisme. Maka dari itu, sudah saatnya umat Muslim sadar, bahwa umat muslim membutuhkan persatuan dalam satu kepemimpinan, yaitu persatuan atas dasar Aqidah Islamiyyah dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Takbir, Allahu Akbar!.