IUP untuk Ormas Agama, Demi Apa?
Oleh: Yulweri Vovi Safitria
LenSa MediaNews__Pemerintah resmi menerbitkan PP No. 25/2024 tentang Perubahan atas PP No. 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara pada (30-5-2024). Dalam beleid ini, pemerintah memberikan kesempatan bagi organisasi keagamaan untuk memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Pro dan kontra di kalangan masyarakat pun muncul terkait aturan ini.
Pro Kontra IUP
Beberapa ormas menyambut baik PP yang diteken pemerintah. Namun, jika merujuk kepada UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3), “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” maka PP tersebut menunjukkan adanya perlakuan yang makin kacau terhadap Pasal 33 UUD 45 sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan SDA sarat atas kepentingan politik. Patut diduga adanya indikasi motif tukar-menukar dalam hak kelola tambang, sebagaimana yang disampaikan oleh Analis Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik FISIP UI Andrianof Achir Chaniago.
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Padjadjaran Idil Akbar menilai bahwa kebijakan ini dikhawatirkan menimbulkan konflik baru di tengah masyarakat sehingga memotivasi munculnya berbagai tuntutan dari ormas non-keagamaan agar mendapatkan hak yang sama (cnnindonesia, 3-6-2024).
Potensi Konflik
Kekhwatiran akan timbulnya konflik pun mencuat. Pasalnya, PP ini juga bertentangan dengan UU Minerba No. 3/2020 Pasal 75 ayat (3) dan (4) tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang menyebutkan bahwa prioritas IUPK diberikan kepada BUMN/BUMD. Sementara untuk badan usaha swasta, pemberian IUPK dilakukan melalui proses lelang.
Bukan hanya itu, keterlibatan ormas dalam pertambangan berpotensi dimanfaatkan oleh pihak lain. Sebagaimana diketahui, ormas bukanlah lembaga yang memiliki teknologi untuk mengeksplorasi tambang. Oleh karenanya, ormas akan mencari pihak lain, yaitu para pengusaha untuk menggarap dan mengelola tambang.
Sudah bisa ditebak, para pengusaha ini merupakan kaum kapitalis yang orientasinya adalah mencari keuntungan. Jika pengelolaan ini benar-benar dilakukan, tentu yang lebih diuntungkan adalah pengusaha. Besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pengelolaan tambang akan mendorong ormas untuk mencari investor. Sementara investor adalah para pengusaha kelas kakap yang tentunya menginginkan keuntungan yang banyak.
Ormas yang sejatinya bertugas untuk mengingatkan pemerintah, lambat laun akan berubah orientasi. Ormas akan disibukkan oleh pengelolaan tambang dan lupa dengan peran utamanya. Bahkan, tidak lagi kritis terhadap berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat.
Lepas Tanggung Jawab
Adanya aturan ini, sepatutnya membuka mata umat bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah, sejatinya tidak untuk kepentingan rakyat. Menyerahkan urusan pengelolaan sumber daya alam, dalam hal ini barang tambang, sekaligus membuktikan bahwa negara lepas tanggung jawab terhadap urusan rakyat.
Sesuatu hal yang wajar dalam sistem kapitalisme liberal. Negara hanyalah sebagai fasilitator, yakni memfasilitasi rakyat untuk mengelola SDA melalui aturan yang ditetapkan, tetapi tidak melihat dampak yang ditimbulkan ataupun luasnya tambang.
Oleh karena itu, wajar jika keluarnya PP ini diduga sebagai bagi-bagi jatah setelah Pemilu 2024. Terlepas dari apa pun alasannya, aturan ini makin menegaskan bahwa sejatinya, sistem demokrasi hanyalah untuk segelintir orang/kelompok. Slogan dari rakyat untuk rakyat hanyalah pemanis di bibir ketika butuh dukungan rakyat.
Harta Miliki Umat
Dalam Islam, barang tambang adalah sumber daya alam milik umum, sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw., “Umat Islam berserikat atas tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Ahmad)
Oleh karena itu, negara wajib mengelola SDA dan haram hukumnya menyerahkan kepada pihak lain, baik rakyat, ormas ataupun pengusaha. Hasil pengelolaan SDA akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, baik untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan ataupun untuk jaminan kebutuhan lain, seperti pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana publik, dan lain sebagainya.
Jika negara lalai terhadap tugas dan tanggung jawabnya terhadap rakyat, ormas berada di garda terdepan untuk mengingatkan negara, dalam hal ini pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Ini karena tugas ormas di dalam sistem politik Islam adalah menyeru kepada kebaikan (Islam), melakukan yang makruf dan mencegah yang mungkar, sebagaimana firman Allah SWT,
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)
Dengan mengembalikan sistem Islam, yakni menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka peran ormas juga akan kembali pada posisinya. Alhasil, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat akan terwujud. Wallahu a’lam