Dunia Darurat Kelaparan Akut, Apa Solusinya?

Oleh : Diana Kamila

Mahasiswa STEI Hamfara

 

Lensa Media News–Penduduk dunia saat ini sedang menghadapi krisis pangan global. Organisasi Pangan Dunia atau FAO yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan masih banyaknya kelaparan akut di 59 negara atau wilayah, dengan jumlah 1 dari 5 di negara itu mengalami kelaparan akibat permasalahan pangan akut (cnbcindonesia, 4/5/2024).

 

Berdasarkan laporan bertajuk Global Report on Food Crises 2024, tercatat sebanyak 282 juta orang di 59 negara mengalami tingkat kelaparan akut yang tinggi pada 2023. jumlah orang kelaparan pada 2023 itu meningkat sebanyak 24 juta orang di tahun sebelumnya.

 

Semakin buruknya kelaparan di berbagai negara tidak lain diakibatkan meningkatnya konflik dan perang, guncangan ekonomi serta peristiwa cuaca ekstrem terus. Secara khusus, konflik Israel-Hamas dan perang di Sudan diindentifikasikan sebagai faktor penyebab utama yang berkontribusi pada eskalasi keadaan darurat global ini.

 

Lantas apa yang menjadi pangkal utama permasalahan kelaparan yang terjadi di berbagai negara? Tidakkah cukup solusi yang ditawarkan oleh lembaga nasional bahkan internasional?

 

Kapitalisme Sang Biang Kerok

 

Persoalan kelaparan yang tidak kunjung usai di dunia saat ini merupakan imbas dari penerapan sistem Kapitalisme global di dunia. Sistem kapitalisme tidak menjamin kesejahteraan rakyat, sehingga setiap individu harus memperjuangkan kesejahteraannya masing-masing.

 

Dalam sistem ini juga meniscayakan penguasaan sebagian besar kekayaan alam oleh segelintir orang. Inilah bentuk penjajahan baru yang disuguhkan oleh negara-negara penganut sistem kapitalisme. Sistem ini juga menafikan kepemilikan umum atau publik, sebaliknya liberalisasi kepemilikan diakui dan diberlakukan. Alhasil penguasaan dan pengelolaan SDA yang notabene milik publik hanya mampu diakses oleh para pemilik modal.

 

Konsep inilah yang membuat sebagian besar umat manusia sulit mengakses kebutuhan pokoknya berupa pangan. Sekalipun rakyat diberi akses, tetap saja rakyat harus membayar dengan harga mahal, sebab penguasaan SDA oleh para pemilik modal tentu berorientasi pada keuntungan material.

 

Tidak dapat dipungkiri, keterlibatan para korporasi dalam produksi dan distribusi pangan mampu mengendalikan pangan bahkan berani melakukan kartel, spekulan dan penimbunan. Pada hakikatnya kedaulatan pangan mustahil diwujudkan dalam sistem Kapitalisme. Ditambah dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan berlepas tangan terhadap kepengurusan rakyat.

 

Islam Solusi Fundamental

 

Berbeda dengan sistem Islam, dimana jaminan kesejahteraan rakyat merupakan bentuk kewajiban yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Pemimpin dalam sistem Islam bukan sekedar perlambang kekuasaan saja, melainkan pelaksana hukum-hukum syariat. Negara Islam memiliki segudang strategi dalam menjawab persoalan kemiskinan bahkan kelaparan.

 

Islam memandang peran sentral pengaturan seluruh aspek kehidupan termasuk tata kelola pangan berada di tangan negara. Pengelolaan pangan dan sumber daya tidak boleh diserahkan kepada korporasi. Korporasi hanya boleh terlibat dalam proses penjualan di pasar-pasar. Tindakan spekulasi, kartel atau bahkan penimbunan dan permainan harga oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab akan dikenai sanksi tegas oleh negara.

 

Selain itu, negara juga memberikan kemudahan kepada petani, seperti kemudahan perizinan penggunaan lahan, infrastruktur, subsidi hingga permodalan gratis. Konsep lahan dalam sistem Islam berbeda dengan konsep lahan dalam sistem Kapitalisme.

 

Dimana dalam sistem Kapitalisme, kepemilikan lahan pertanian adalah hak setiap manusia, sehingga mereka dapat dengan bebas memiliki lahan seberapapun luasnya. Hal ini menimbulkan dampak persaingan bebas tanpa batas hingga puncaknya yakni munculnya feodalisme dalam kepemilikam lahan.

 

Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam di bidang pertanian memberikan solusi penyatuan kepemilikan lahan dan produksi, diantaranya dengan adanya hukum ihya’u al-mawat. Hukum ini membolehkan setiap individu untuk memiliki lahan mati dan terlantar dengan satu syarat, yakni ia harus menghidupkannya dengan mengolah dan menanaminya.

 

Islam juga melarang menyewakan lahan pertanian dan larangan menelantarkan lahan selama lebih dari tiga tahun. Semua ini diharapkan dapat mencegah terjadinya feodalisme serta terwujudnya pemerataan ekonomi.

 

Negara Islam juga akan menerapkan konsep kepemilikan individu, kepemilikan publik dan kepemilikan negara. Berdasarkan konsep ini sumber daya alam termasuk hutan, migas dan lain-lain tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Negara wajib mengelolanya dan mengembalikan untuk kemaslahatan rakyat.

 

Demikianlah solusi Islam dalam menyelesaikan problem kelaparan akut yang terjadi di berbagai belahan negara. Kesejahteraan pangan tidak akan terwujud kecuali dengan penerapan aturan Islam secara Kafah dalam tonggak Daulah Islamiyyah. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis