Calon Dokter Spesialis Depresi, Buah Pendidikan Kapitalistik?
Oleh: Rasya Tsaurah, M.Pd
LenSa MediaNews__Bulan lalu, Kemenkes RI melakukan skrining kesehatan mental kepada para calon dokter spesialis yang tengah menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Kabiro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi menyebutkan bahwa skrining diisi oleh 94% dokter peserta PPDS di 28 rumah sakit vertikal pendidikan di Indonesia. Hasilnya sangat mengejutkan! Sebanyak 16.3% dokter mengalami depresi ringan, 4% mengalami depresi sedang, 1,5% depresi sedang-berat, dan 0.6% mengalami depresi berat. Sehingga total peserta PPDS dengan gejala penyakit mental berjumlah 22.4% atau 2.716 orang. Gejala yang dialami peserta PPDS meliputi lelah, kurang bertenaga, tidak nafsu makan, gangguan tidur, hilangnya motivasi untuk melakukan apapun, murung, putus asa, hingga ingin bunuh diri atau melukai diri sendiri dengan cara apapun (cnnindonesia.com, 25-04-2024).
Faktor Pemicu
Menurut Nadia, ada empat faktor pemicu depresi para residen (peserta PPDS).
Pertama, beban pendidikan. Setiap calon dokter spesialis harus mendalami ilmunya dalam waktu relatif singkat, yaitu sekitar 4-6 tahun saja.
Kedua, pendidikan pelayanan. Setiap residen, selain menjalani perkuliahan di ruang kelas, mereka pun dibebankan untuk memberikan pelayanan kepada pasien.
Ketiga, beban ekonomi akibat biaya pendidikan yang mahal dan tertutupnya peluang pekerjaan.
Keempat, perundungan. Perundungan yang dialami para residen meliputi perundungan verbal seperti cacian dan pemberian jam kerja di luar waktunya (cnnindonesia.com, 25-2-2024)
Ketua Umum IDI, dokter Adib Khumaidi mengakui bahwa para residen mengalami burnout akibat jam kerja yang tinggi (overwork). Hal ini terjadi karena pemerintah memang tidak memberikan batasan jam kerja bagi residen. Padahal para residen memberikan pelayanan pada pasien. Kondisi terlalu lelahnya para residen, bukan saja berdampak buruk bagi diri mereka sendiri, namun juga mengancam keselamatan dan kesehatan para pasien (health.detik.com, 25-4-2024).
Buah Pendidikan Kapitalistik
Masalah kesehatan mental yang dialami para residen tidak bisa lepas dari sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Konsep pendidikan pelayanan menjadikan para residen tidak mendapatkan upah atas pelayanan yang mereka berikan. Di sisi lain, beratnya beban akademik dan padatnya kegiatan pendidikan menjadikan mereka tidak mungkin menyelenggarakan praktek mandiri. Apalagi memang ada institusi yang melarang para residen untuk bekerja di luar kegiatan pelayanan pendidikan. Akibatnya, mereka tidak memiliki penghasilan. Padahal sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga dan mereka pun harus membayar biaya pendidikan. Kisaran UKT (Uang Kuliah Tunggal) PPDS berkisar 12.5 juta hingga 22 juta per semester di luar iuran pembangunan.
Konsep ini begitu tidak manusiawi. Para residen tak ubahnya seperti sapi perah, yang dimanfaatkan tenaga dan keilmuannya atas nama pendidikan untuk kepentingan ekonomi jasa kesehatan. Kasus perundungan yang terjadi di lingkup PPDS menjadi bukti bahwa output pendidikan nasional tidak dapat menghasilkan individu-individu bertakwa dan berakhlak mulia.
Perlu Solusi Sistemis
Perlu solusi sistemis untuk mengurai benang kusut seputar pendidikan dan budaya yang dibangun dalam sistem PPDS. Solusi ini haruslah solusi sahih yang bukan berasal dari hasil pemikiran manusia. Melainkan aturan dari Sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui. Sistem ini haruslah sistem yang memiliki paradigma pendidikan yang sahih, kurikulum dan tujuannya pun harus sahih. Ditambah dengan keterlibatan negara secara sempurna sehingga seluruh penyelenggaraan pendidikan dalam rangka mencetak para dokter yang mumpuni dapat terealisasi dengan baik. Sistem ini hanya bisa dicapai melalui sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah.
Dalam Khilafah, negara wajib menjamin kemudahan akses pendidikan bagi setiap warganya, termasuk pendidikan kedokteran. Setiap warga yang berkeinginan menjadi dokter hingga level spesialis dimudahkan oleh negara sebab negara bertanggung jawab penuh atas biaya pendidikannya. Biaya pendidikan akan diambil dari baitul mal sehingga negara mampu mencetak generasi dokter yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup.
Pendidikan yang berbasis akidah Islam akan mewujudkan output peserta didik yang bertakwa dan berkepribadian Islam. Mereka akan senantiasa berpikir dan bersikap sesuai dengan aturan Islam, sehingga jauh dari perilaku zalim, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Walhasil, kasus perundungan dalam dunia pendidikan pun tertutup celahnya. Keyakinan yang kokoh atas setiap keputusan (qadha) pertolongan Allah menjauhkan peserta didik dari gangguan dan penyakit kejiwaan.
Sungguh, hanya Islam yang dapat mencetak generasi mumpuni dalam keilmuan dan kokoh dalam keimanan. Khilafah telah terbukti mampu melahirkan para pakar dan ilmuwan di berbagai bidang tanpa harus membebani mereka secara finansial dan psikologis. Wallahu’alam bishshawab.