Harga Gula Melangit, Ekonomi Rakyat Kian Sulit
Oleh : Nurjannah Sitanggang
Harga gula di tingkat konsumen naik jadi Rp17.500 per kg. Kenaikan ini merupakan imbas dari kebijakan Badan Pangan Nasional (Bapanas) merelaksasi harga gula di tingkat konsumen sebesar Rp1.500 menjadi Rp17.500 per kilogram (kg) hingga Mei mendatang.
Kepala Badan Pangan Nasional (BAPANAS) Arief Prasetyo Adi mengatakan kenaikan dilakukan karena adanya permintaan dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) terhadap harga acuan pembelian (HAP) bahan-bahan pokok seperti beras dan gula (CNN,20/4/2024).
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkap biang kerok penyebab kelangkaan gula di ritel modern belakangan ini.
Menurut Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim, kelangkaan terjadi karena pelaku usaha kesulitan mendapatkan stok gula dari impor dan harga yang tinggi (CNN,19/04/2024).
Mirisnya meski harga gula naik ternyata stok gula di pasar juga tidak ada alias menipis. Padahal gula termasuk kebutuhan pangan masyarakat. Kebijakan tata niaga gula menjadi bagian dari kebijakan strategis pangan nasional. Untuk itu kebijakan mengenai harga acuan gula setiap tahunnya terus diperbaharui yaitu Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Hal tersebut dilakukan agar harga gula terus seimbang. Hanya saja, apalah penetapan harga acuan ini jika ternyata harga gula itu naik turun mengikuti harga di pasar internasional apalagi sampai stok minim.
Adanya kenaikan harga gula akan berdampak pada daya beli masyarakat karena dampak yang dirasakan tidak hanya kenaikan gula untuk kebutuhan dapur. Tapi juga berefek pada naiknya jenis makanan dan minuman jadi yang diproduksi oleh UMKM. Tentu ini akan mempersulit masyarakat.
Padahal Indonesia merupakan negara agraris. Sektor pertanian yang dimiliki sangat luas. Seharusnya potensi ini tidak pantas menjadikan Indonesia bergantung pada impor dalam urusan pangan. Pengelolaan yang salah menjadikan negeri ini gagal memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Kebijakan ekonomi yang diterapkan saat ini yang kapitalistik menjadi biang keroknya. Pasalnya sistem inilah yang telah menempatkan negara sebagai regulator semata, sementara yang terjun langsung di lapangan dalam pemenuhan pangan adalah para pengusaha dengan motif bisnis dan keuntungan. Wajar saja pada akhirnya swasembada pangan tidak bisa diwujudkan karena semua pengusaha mencari jalan pintas mencari keuntungan yaitu impor. Padahal jika pangan bergantung pada impor maka harga dan ketersediaan stok dipengaruhi oleh pasar internasional. Lebih parahnya lagi jika negara lain berhenti mengekspor komoditinya maka negara kita akan kesulitan mengimpor sehingga kebutuhan pangan dalam negeri tidak akan terpenuhi. Swasembada pangan pun yang sebatas mimpi.
Tentu ini berbeda dengan sistem islam, islam menempatkan negara bagaikan pelayan bagi rakyat. Negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap rakyatnya. Sehingga swasembada pangan akan menjadi salah satu kebijakan strategis negara. Kebijakan impor hanyalah opsi terakhir. Negara harus memaksimalkan semua potensi yang ada untuk mewujudkan swasembada pangan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Sehingga lahan pertanian yang luas dan banyaknya petani semuanya akan dikerahkan demi mewujudkan swasembada pangan. Negara akan mandiri mensuplai kebutuhan pangan rakyat.
Disisi lain negara menjamin kebutuhan rakyat secara langsung individu per individu. Sehingga tidak berhenti pada penyediaan stok atau produksi semata, akan tetapi proses distribusi juga akan optimal. Setiap rakyat yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya karena lemah secara fisik dan akal serta tidak punya kerabat yang menafkahinya, maka negara akan memenuhi kebutuhannya melalui baitulmal.
Semua ini bisa terwujud jika aturan islam diterapkan secara totalitas dalam semua aspek kehidupan. Wallahu alam.
(LM/SN)