Ayah Dapat Cuti, Benarkah Efektif Memperbaiki Kualitas Generasi?
Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat literasi)
LenSa MediaNews__Beberapa tahun lalu viral pemberitaan hasil riset tentang ayah di nusantara. Konon, Indonesia menempati urutan ketiga dalam daftar ‘fatherless country’ alias negara yang kehilangan sosok bapak. Maka ketika ada upaya mengegolkan rancangan peraturan terkait pemberian cuti bagi para suami yang istrinya baru melahirkan, agar dapat optimal membantu istri, dinilai positif sebagian kalangan.
Pertanyaannya, seberapa efektif cuti ayah selama 3 bulan setelah sebelumnya hal yang sama juga sudah diberikan pada ibu yang bekerja? Benarkah dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas tanpa menimbulkan problem baru berupa keluhan dari perusahaan karena dampaknya pada kinerja dan profit perusahaan?
Itu dia soalnya. Pada diskusi Forum Legislasi di Gedung Nusantara III, DPR RI, tahun lalu, mencuat gagasan untuk mengegolkan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Latarnya tentu karena adanya kebutuhan mewujudkan ibu dan anak sejahtera yang merupakan sumber daya manusia (SDM) yang unggul bagi negara. Salah satu pasal yang terkandung di dalamnya ialah memberlakukan cuti bagi para ayah. (MNews, 23-6-2023)
Hanya saja, galibnya aturan dalam naungan kapitalisme yang kerap memberikan solusi namun dengan menimbulkan problem baru, tak luput pula yang satu ini. Bagaimana tidak, faktanya alih-alih bisa mengatasi kebutuhan ayah pada anak, meringankan beban Ibu, dan sebagainya, aturan ini justru berpotensi menuai masalah baru.
Bayangkan ketika seorang pekerja cuti tiga bulan tanpa memberikan kompensasi pada perusahaan, tapi tetap digaji. Tentu saja hal tersebut berisiko merugikan pemilik usaha. Lama kelamaan bila dibiarkan bisa bangkrut berujung pada PHK, pengangguran pun meningkat. Tak heran jika penolakan timbul dari kalangan pemilik industri. Upaya perbaikan kualitas generasi dengan pemberian cuti bagi para ayah pun bukan mustahil berakhir sia-sia.
Padahal jika ditelisik lebih jauh, masalah yang dihadapi keluarga bukan sekadar disebabkan oleh kondisi hamil dan melahirkannya seorang ibu dalam keluarga. Sesungguhnya permasalahan mendasarnya adalah diterapkannya sistem sekuler kapitalisme yang rusak dan merusak. Sebab dalam sistem ini, peran negara sebagai pihak yang seharusnya mengurusi rakyat justru dimandulkan. (wikipedia)
Kewajiban negara, seperti memenuhi hak tersedianya pekerjaan, pendidikan dan kesehatan bagi rakyat, malah ditimpakan jadi beban bagi individu dan keluarga. Semakin parah ketika hadir pula narasi yang menyatakan bahwa dilibatkannya perempuan di sektor ekonomi akan meringankan beban tersebut, bahkan digadang-gadang bisa mendongkrak kesejahteraan keluarga hingga bangsa. Begitulah tanpa disadari narasi tersebut berbalik jadi jebakan yang menyesatkan dan perlahan tapi pasti memalingkan peran perempuan dari fungsi utamanya sebagai ibu dan pendidik generasi. Lagi-lagi tiada yang bisa diharapkan kapitalisme kecuali kemudaratan tanpa henti.
Jauh berbeda dengan Islam yang merupakan diin yang sempurna dan memiliki mekanisme yang unik dan istimewa dalam mewujudkan kesejahteraan, termasuk ibu dan anak. Tak lain karena karena aturan Islam datang dari Allah SWT, Pencipta manusia.
Guna mewujudkan kesejahteraan dalam konteks keluarga, Islam telah membebankan kepada ayah untuk mencari nafkah.
Allah SWTbberfirman,
“… Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah: 233)
Rasulullah saw. juga menegaskan dalam riwayat Bukhari,
‘Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dengan mengharap keridaan Allah, maka baginya sedekah.’
Ketika ayah tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, kewajiban akan jatuh pada ahli waris dan kerabat terdekatnya. Jika pun tidak ada yang mampu, maka negara yang akan menanggungnya.
Selain itu, apabila ada yang mengabaikan kewajiban nafkah sementara ia mampu, maka negara berhak memaksanya. Dengan demikian, para ibu pun bisa fokus menikmati kemuliaan peran sebagai ibu tanpa harus dipusingkan dengan segala kesempitan ekonomi, beban ganda, tindak kekerasan dan pengaruh buruk lingkungan yang akan merusak keimanan dan akhlak diri dan anak-anaknya karena telah dijamin pemenuhannya oleh negara melalui penerapan seluruh hukum Islam secara totalitas dan sinergis.
Jelaslah bahwa jalan satu-satunya mengembalikan kemuliaan baik laki-laki maupun perempuan, sekaligus meraih kesejahteraan dan generasi yang berkualitas hakikinya tak cukup hanya dengan cuti bagi para ayah. Melainkan dengan kembali kepada sistem Islam. Karena Islam, baik pada tataran konsep maupun praktik telah terbukti mampu menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik, generasi emas selama rentang waktu yang sangat panjang. Wallahu ‘alam.