Ilusi Program Desa Wisata
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
LenSa Media News _ Potensi desa wisata terus menebarkan pesonanya. Bahkan program ini digadang-gadang mampu mendongkrak sektor perekonomian. Betulkah demikian?
Program Absurd
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menargetkan pembentukan 6.000 desa wisata sepanjang tahun 2024. Program tersebut ditujukan demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sandi Uno memaparkan, dari 80 ribu lebih desa yang ada di Indonesia, terdapat sekitar 7.500 desa yang memiliki potensi wisata (republika.co.id, 18/2/2024). Sandi pun menuturkan bahwa program desa wisata berpotensi menyumbang pendapatan domestik bruto sekitar 4,5 persen secara nasional. Program desa wisata menjanjikan penambahan lapangan pekerjaan menjadi luas, terutama bagi para penduduk lokal wilayah sekitar. Sekitar 4,4 juta lapangan pekerjaan terbuka luas di bidang ekonomi kreatif. Kemampuan generasi muda menciptakan berbagai inovasi akan menciptakan peluang besar bagi desa tersebut untuk meningkatkan kemampuan. Demikian lanjutnya.
Sekilas, program ini terlihat baik dan memiliki potensi yang menjanjikan masa depan cerah. Namun, konsep yang ada ternyata tidak mampu diterapkan secara utuh di tengah kehidupan masyarakat. Memang betul, desa wisata mampu menyedot tenaga kerja, namun animonya hanya sekejap. Tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang kontinyu dan menjanjikan. Inilah salah satu kendala program desa wisata.
Kemandirian dan kreatifitas rakyat dijadikan alasan untuk meningkatkan taraf ekonomi nasional. Faktanya, desa wisata lebih banyak menanggung resiko sosial yang besar dibandingkan keuntungan yang menggiurkan.
Ancaman liberalisasi dan eksploitasi alam terus menjadi hambatan dan tantangan yang hingga kini belum usai dituntaskan. Belum lagi, ancaman gaya hidup dan budaya yang tidak sesuai dengan nilai norma masyarakat setempat. Semakin gencar program desa wisata diterapkan, gaya hidup komunitas desa akan beralih menjadi konsumtif dan hedonis. Seiring dengan masuknya budaya-budaya modern yang terus merangsek masuk wilayah pedesaan. Tentu saja, hal ini akan menimbulkan konflik di wilayah desa. Konflik sosial terus melebar hingga akhirnya mampu mengeliminasi dan mendistruksi kenyamanan desa yang telah lestari dan ada sebelumnya.
Dampak penggenjotan pembangunan desa wisata ini pun akan mengarahkan arus kepada para investor agar menanamkan modal untuk investasi di wilayah desa. Konsep tersebut akan menjadikan desa sebagai ladang bisnis para pengusaha oportunis. Sehingga dapat mengancam eksistensi wilayah pedesaan.
Konsep pengembangan desa wisata tak lain sebagai konsep absurd yang disokong oleh konsep materi ala kapitalisme. Dan inilah bentuk kelalaian negara dalam menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi rakyat. Pertumbuhan ekonomi digenjot dengan meninggalkan konsep pengelolaan sumberdaya strategis yang merupakan sumber utama bagi kesejahteraan rakyat. Dan faktanya, pengelolaan sumberdaya alam, kini dikelola pihak swasta dan asing. Wajar saja, saat kesejahteraan hanya sebuah mimpi dalam program desa wisata.
Sistem Islam Niscaya Lahirkan Kesejahteraan
Sistem Islam menetapkan bahwa setiap sumberdaya alam wajib dikelola negara demi memenuhi setiap kepentingan rakyat dan mampu mencapai kesejahteraan. Pengelolaan yang optimal oleh negara mampu meluaskan lapangan pekerjaan tanpa adanya eksploitasi wilayah tertentu. Karena sistem Islam diterapkan sebagai konsep pengaturan kehidupan. Dan Islam menetapkan bahwa setiap individu rakyat menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya.
Rasulullah SAW. bersabda,
“Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya” (HR. Al Bukhori).
Kemandirian menjadi paradigma pengurusan rakyat dalam sistem Islam. Sistem yang hanya mampu diterapkan dalam institusi khilafah. Khilafah menetapkan pengelolaan sumberdaya alam secara mandiri. Termasuk pembangunan desa dan kota yang merata. Sehingga akses penduduk untuk mencapai sejahtera mampu didapatkan dengan mudah. Basis pembiayaan dalam badan baitul maal yang ditetapkan khalifah mampu menjamin pelayanan merata bagi seluruh warga negara, baik muslim dan non muslim, tanpa ada diskriminasi.
Lapangan pekerjaan tidak menjadi masalah dalam institusi khilafah. Karena setiap sektor kehidupan diurusi langsung oleh negara. Dan masyarakat menjadi tenaga potensial yang mampu solid mengerjakannya. Industri padat karya akan dikembangkan oleh negara secara berkesinambungan sehingga mampu menyerap tenaga kerja yang banyak.
Dengan paradigma Islam, kesejahteraan umat mampu diraih utuh dan sempurna. Karena pengaturan yang amanah dijalankan sebagai bentuk ketundukan pada aturan Dzat Maha Sempurna.
Wallahu a’lam bisshowwab.
(LM/SN)