Koreksi Islam atas Pernyataan “Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya”
Oleh: Ibnu Rusdi
(Pemerhati Sosial)
LenSa MediaNews__Kondisi karut-marut ekonomi berat bebannya. Demikian pula dinamika politik. Masyarakat disuguhi bertumpuk-tumpuk hoaks, rekayasa, simpang siur berita, dan keterbelahan masyarakat dalam kubu-kubu yang dikendalikan kepentingan. Interaksi di antara mereka mirip fatamorgana. Bertemunya tanpa disertai keterpautan hati. Iklim Pemilu 2024 memang menyajikan fenomena kemanusiaan dan deskripsi negara pada level tambah darurat!
Kita akan mendapati salah satu keprihatinan di antara ilustrasi gelap itu. Di sepanjang masa kampanye, beredar ‘fatwa’ yang tergolong baru. Banyak yang bereaksi kontra. Tetapi pertimbangan manfaat sepertinya tidak kalah dalam memagnet kecenderungan.
Opini yang barangkali dikembangkan salah satunya dari pernyataan Ustadz Abdul Shomad. Dari video ketika beliau berkampanye di Riau pada 2020 yang lalu, “Ambil uangnya jangan coblos orangnya. Kalau takut makan uangnya serahkan ke masjid, serahkan ke fakir miskin.” (Gatra.com, 1-12-2020)
Pada berbagai komunikasi lisan di tengah khalayak, pernyataan tersebut dikuatkan kemubahannya dengan tambahan argumentasi semisal, “Itu uang rakyat. Jadi rakyat mengambil hak mereka.”
Apa yang dapat dimaklumi dan dimafhumi dari beredarnya ‘fatwa’ seperti di atas?
Pertama, Kita memaklumi persepsi mereka bahwa “amplop” itu uang rakyat. Bukan dana dari kantong pribadi. Sehingga momentum panen amplop dan bingkisan ini sejatinya mengambil hak sendiri melalui saluran yang tidak lazim.
Kedua, Pandangan sebagian tokoh perihal “uang rakyat” sebagaimana di atas melahirkan satu kesimpulan buruk. Yaitu, memperlihatkan indikasi tumbuh suburnya pendapat publik perihal fakta beratnya kerusakan. Terutama perilaku korupsi yang menggurita.
Ketiga, Saluran normal bagi rakyat untuk menuntut hak-hak mereka tertutup. Regulasi produk legislatif menyerahkan kelola pendapatan dan belanja negara kepada kendali dan kepentingan entitas tertentu. Bukan kepada hukum yang berorientasi kerakyatan atau bermuara bagi kesejahteraan bersama.
Poin ketiga ini pada gilirannya harus ditabrak. Rakyat jangan sampai tidak kebagian akses ekonomi secara layak. Ketika kontestasi jabatan politis 5 tahunan membutuhkan suara mereka, para calon tahu diri. Rakyat amat jarang dibuat nyaman oleh kebijakan dan sepak terjang kekuasaan.
Dua kepentingan bertemu. Rakyat butuh tambahan uang belanja. Para calon penguasa butuh suara mereka. Beda reaksi ideologis pada fenomena yang sama di periode-periode sebelumnya salah satunya dengan meluasnya ‘fatwa’ ini.
Kerusakan yang sebelumnya diperlihatkan publik dengan menerima “amplop” sekaligus memberikan suaranya untuk pihak yang menyodorkan pemberiannya. Sedangkan hari ini lalulalang serah-terima amplop dan bingkisan semakin liar: Ambil amplopnya, tinggalkan orangnya!
Bukankah Islam memberikan hikmah yang konstan di segala zaman? Pemberian bertujuan mendapatkan jabatan adalah risywah (suap). Persepsi bahwa “amplop” sejatinya uang rakyat tergolong dugaan. Fakta larangan risywah ditabrakkan kepada dugaan uang rakyat sehingga halal bagi penerimanya lebih dekat kepada sekurang-kurangnya pendapat yang subhat.
Mestinya rakyat menolak risywah agar jelas standar yang mereka pedomani. Mestinya mereka menuntut hak-hak mereka yang ‘dititipkan’ kepada oligharki melalui mekanisme peradilan yang jujur. Seharusnya mereka tidak ditinggalkan oleh keberpihakan regulasi. Seharusnya mereka tidak terbelit secara ekonomi dan politik, serta terpelihara keamanan agamanya.
Itu semua berkonsekwensi atas tuntutan terus tumbuhnya dakwah Islam. Pemikiran umat wajib diajak bangkit dengannya!