Terbitkan Perpres untuk Rempang, Negara Makin Sewenang-wenang
Terbitkan Perpres untuk Rempang, Negara Makin Sewenang-wenang
Oleh : Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd.
LenSaMediaNews.com – Rempang menjadi salah satu berita yang masih dibicarakan hingga hari ini. Masih tersebar aksi pembelaan tanah Rempang, meski tak sehangat awal penolakan Rempang Eco-City. Pasalnya, tanah Rempang yang sudah dimiliki sejak leluhur mereka, kini direlokasi dengan tujuan pembangunan Rempang Eco-City yang pasti menguntungkan investor asing. Jika diteliti lebih dalam, jika proyek ini gagal, maka Indonesia akan mengalami kerugian besar. Sudah kadung menggusur warga sendiri, nyatanya merugikan dan menzalimi banyak warga.
Warga Rempang terus merasa khawatir atas nasib mereka setelah ini. Banyak konflik sudah terjadi di sana. Baik konflik vertikal atau horizontal. Namun ternyata, Negara justru menerbitkan Perpres No. 78 Tahun 2023 dengan alasan sebagai landasan percepatan pembangunan relokasi tempat tinggal warga Rempang.
Anehnya, di dalam Perpres tersebut disebutkan tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional. Dengan aturan tersebut menunjukkan bahwa jelas, tujuan utamanya adalah meloloskan pembangunan nasional. Terlihat baik, tetapi nyatanya baik untuk para oligarki, bukan rakyat sendiri.
Lihat saja, ada berapa banyak proyek strategis nasional (PSN) yang telah berjalan dan berdampak buruk bagi masyarakat? Bukan menyejahterakan, malah menyengsarakan. PSN yang menjadi objek wisata nyatanya juga menjadi wisata para turis asing dengan biaya fantastis. Padahal sebelumnya, warga asli bebas menikmati tanpa membayar. Jika sudah tidak produktif, maka akan sepi pengunjung kemudian terbengkalai.
Maka bisa dilihat bahwa ada “mantra” dari para investor dan oligarki di balik rencana-rencana yang masuk melalui PSN. Pertama, mereka akan melakukan penguasaan lahan dengan cara sewa selama jangka waktu tertentu atau mengatasnamakan tanah Negara yang akan dijadikan lebih produktif.
Kedua, jika ada penduduk yang tinggal di sana, maka penduduk asli akan diminta pindah atas nama relokasi. Padahal di balik niat relokasi itu adalah penggusuran dengan cara halus. Biaya kompensasi pun tak sesuai dengan harta mereka yang diambil. Kalau juga tidak mau pindah, pastilah Negara akan mengambil cara kasar sebagaimana yang terjadi di Rempang.
Ketiga, masuklah TKA Cina dan ekspatriat dengan alasan pekerja handal untuk membantu mempercepat pembangunan PSN. Padahal ketika sosialisasi relokasi, biasanya akan digaungkan janji-janji manis akan merekrut anak negeri dalam pembangunan yang akan dilakukan di wilayahnya.
Keempat, proyek sudah berjalan namun uang pembangunannya melalui hutang luar negeri, pinjam World Bank, IMF, atau negara-negara adidaya. Jika utang sudah menumpuk kemudian gagal bayar, di saat itulah lahan diambil menjadi aset luar negeri negara pemodal. Sungguh miris.
Konsep agraria dalam Islam harus dipahami oleh kaum muslimin, termasuk pemimpin negeri. Pertama, kepemilikan tanah adalah mutlak milik Allah. Kedua, Allah sebagai pemilik tanah telah memberikan ketentuan pengelolaan kepada manusia menurut hukum-hukum Allah.
Adapun ketentuan yang dimaksud supaya tanah bisa dimiliki seseorang, bisa melalui enam cara. Di antaranya adalah dengan jual beli, waris, hibah, ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), iqtha’ (pemberian Negara pada rakyatnya).
Dalam kasus Rempang, memang benar mungkin mereka tidak memiliki sertifikat hak milik, tetapi tanah Rempang adalah tanah yang sudah eksis sejak tahun 1700 an. Hal ini bisa saja dimiliki oleh leluhur mereka melalui cara ihya’ul mawat atau tahjir yang kemudian oleh generasi selanjutnya dimiliki berdasarkan cara waris, hibah, atau jual beli.
Pemerintah harusnya malu karena pernah menjanjikan akan memberi sertifikat tanah, tetapi ternyata justru menjadikan kuasanya untuk menarik paksa tanah Rempang sebab dianggap millik Negara. Apalagi pemerintah dengan mudahnya menerbitkan aturan secara mendadak dan sewenang-wenang demi menguatkan kuasanya dan rakyat tidak mampu lagi mengelak. Jika tetap menolak, maka jalur hukum yang akan dihadapi rakyat. Sungguh sistem yang zalim dan penguasanya lalim.
Wallahu’alam bishowwab.