Oleh: Yani Ummu Qutuz
(Pegiat Literasi dan Member AMK)

 

 

Lensamedianews.com– Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI sudah berlalu. Namun euforia kemerdekaan masih terasa dimana-mana. Lampu kerlap-kerlip masih bergelantung menghiasi jalan. Bendera dan umbul-umbul masih asyik mejeng di pinggir jalan. Panggung-panggung hiburan pentas kreasi dan pembagian hadiah perlombaan masih ramai dilakukan, hampir di setiap RW. Tak perlu diundang, warga berduyun-duyun hadir pada acara tersebut.

Campur baur menjadi pemandangan lumrah. Para penari cilik dan biduan ditampilkan untuk menyemarakkan suasana. Pakaian minim dikenakan untuk menarik perhatian. Kerap terjadi kerusuhan pada acara tersebut, karena kadang ada penonton dalam keadaan mabuk yang mudah tersulut emosinya. Lengkap sudah kemaksiatan yang terjadi.

Miris katanya merdeka, namun perilaku mereka masih terbelenggu hawa nafsu. Merdeka yang mereka pahami hanya sebatas merdeka dari penjajahan pisik, namun mereka masih terjajah secara pemikiran. Buktinya masyarakat masih memperturutkan hawa nafsunya dalam memperingati hari kemerdekaan dari tahun ke tahun.

Tak pantas kiranya merayakan kemerdekaan dengan hura-hura yang tidak diharapkan oleh pejuang dahulu. Para pahlawan rela mati demi kemerdekaan. Jargon “Merdeka Atau Mati” yang menjadi slogan para pejuang, kini berganti menjadi “Merdeka Tapi Mati”, secara pisik bebas dari serangan musuh, namun pemikiran masih membebek pada musuh. Lihatlah gaya hidup dan perilaku kita tak berbeda dengan orang-orang Barat.

Kemerdekaan pada hakikatnya akan membawa masyarakat pada kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, serta keadilan. Namun semua itu masih sebatas mimpi. Faktanya hutang terus membengkak, proyek infrastruktur seperti IKN terancam mangkrak. Kemiskinan ekstrem mulai terasa, karena kesenjangan ekonomi yang kian menganga. Sumber daya alam milik rakyat dikuasai oleh segelintir orang yaitu para pengusaha baik asing maupun Aseng. Merekalah yang mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi.

Biaya pendidikan makin tak terjangkau. BBM, gas, listrik, dan sejumlah kebutuhan pokok terus naik. Akhirnya biaya hidup semakin tinggi sementara pengangguran di mana-mana, muncul banyak kasus kejahatan seperti pencurian, perampokan, pembegalan bahkan diiringi dengan pembunuhan. Di sisi lain penerapan hukum yang jauh dari rasa keadilan, menjadikan hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Hukum bisa dibeli, siapa yang punya uang, dia bisa bebas dari jeratan hukum. Cocok dengan istilah “lu punya uang lu punya kuasa”.

Bagaimana dengan moral generasi? Generasi yang diharapkan dari tujuan pendidikan nasional adalah generasi yang beriman dan bertakwa. Namun faktanya generasi negeri ini mendekati ambang kehancuran. Pergaulan bebas makin tak terkendali. Banyak para remaja yang terjerumus perilaku “penyuka sesama”. Belum lagi narkoba, kasus perundungan bahkan pembunuhan sering terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Mengerikan bukan?

Semua ini terjadi karena bangsa ini belum lepas dari penjajahan nonfisik/pemikiran. Penjajah pemikiran berupa ideologi kapitalisme-sekularisme inilah yang justru lebih berbahaya. Sampai kapan pun negeri ini tidak akan bisa berdaulat dan mandiri menentukan arah kebijakan politik. Bangsa ini akan terus membebek pada kepentingan asing baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dan lain-lain.

Satu-satunya jalan untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki adalah dengan menerapkan Islam secara kafah, sehingga ummat terbebas dari penjajahan ideologi kapitalisme-sekularisme. Dengan menegakkan tatanan masyarakat dan negara yang bertumpu pada prinsip tauhid. Tatanan ini diatur oleh aturan Allah atau syariat Islam. Tunduk sepenuhnya pada aturan Allah dan menaati seluruh perintahnya serta menjauhi larangannya. Maka bangsa ini akan terbebas dari kegelapan menuju cahaya. Bebas dari segala keterpurukan, menuju era kebangkitan dan kemajuan yang dicita-citakan. Wallahu a’lam bishawab. [LM/UD]

Please follow and like us:

Tentang Penulis