Ketika Pejabat Menggunakan Fasilitas Milik Umat


Oleh. Yulweri Vovi Safitria

 

 

LensaMediaNews__Membicarakan pejabat publik akan selalu mengingatkan kita terhadap tindakan dan perbuatannya, akhlak dan moralnya. Baik atau buruk terhadap masyarakat. Ya, namanya pejabat tentunya akan diperhatikan oleh umat. Apalagi jika mereka dipilih oleh rakyat.

 

 

Seperti yang baru-baru ini terjadi di Batam, Kepulauan Riau. Pesta pernikahan putri pejabat publik yang menggunakan jalanan umum tak pelak membuat masyarakat kesal. Warga protes terhadap penutupan ruas jalan raya tersebut (newsdetik.com, 2-9-2023).

 

 

Paradigma Kapitalisme

 

Menggunakan fasilitas umum untuk keperluan pribadi adalah hal yang lumrah terjadi hari ini. Sebagian orang mungkin sudah terbiasa menyaksikan deretan mobil berjejer parkir di jalanan perumahan karena ketiadaan garasi yang memadai. Tidak ada yang berani menegur ataupun protes melainkan hanya sebatas kesal di dalam hati karena menghalangi para pejalan kaki maupun pengendara. Pun, penutupan ruas jalan, baik untuk hajatan pernikahan maupun acara tahlilan. Ya, karena memang tidak ada aturan yang melarang terkait penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi.

 

 

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa kegiatan yang merupakan kepentingan pribadi dapat diselenggarakan di jalan kabupaten/kota dan jalan desa. Sementara itu, berdasarkan Peraturan Kepala Polisi Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas antara lain pesta perkawinan, kematian, atau kegiatan pribadi lainnya (tempo.co, 13-8-2022).

 

 

Dalam paradigma kapitalisme, aturan tersebut wajar saja karena aturannya bersumber dari akal manusia. Dalam sistem kapitalisme, kebebasan individu mendapat tempat dan dijamin oleh undang-undang sehingga prinsip yang dianut oleh sistem ini adalah individualisme yang mengutamakan kepentingan individu. Istilah mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan seolah pemanis di bibir karena pada aplikasinya jauh panggang dari api.

 

 

Kepemilikan Umum

 

Islam memandang, jalan raya merupakan kepemilikan umum yang dikelola oleh negara. Oleh karena itu, Islam memiliki pandangan yang khas terhadap penggunaan jalan umum untuk kepentingan pribadi seperti hajatan atau keperluan lainnya. Dalam Islam, setiap orang, baik muslim maupun nonmuslim memiliki hak yang sama dan tidak boleh dihalangi terhadap penggunaan jalan umum dari sisi berjalan di jalan itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

 

 

Bahkan para ulama mengharamkan penggunaan jalan umum untuk kepentingan individu. Hal seperti itu dianggap para ulama sebagai tindakan yang telah merampas hak para pengguna jalan dan termasuk perilaku zalim. Tidak hanya itu, atap rumah yang melebar ke jalanan, baik mengganggu pengguna jalan umum atau tidak, sama-sama termasuk hal yang terlarang di dalam Islam.

 

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu (duduk-duduk di jalan), maka tunaikanlah hak (pengguna) jalan.” Sahabat bertanya: “Apa saja hak pengguna jalan?” Rasulullah menjawab: “Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan, menjawab salam, dan amar makruf nahi mungkar.” (HR Bukhari)

 

 

Oleh karena itulah, maka Islam melarang penggunaan jalanan umum untuk kepentingan pribadi, apalagi jika tindakan tersebut jelas-jelas mengganggu kenyamanan para pengguna jalan yang memiliki mobilitas tinggi.

 

 

Dengan demikian, sudah seharusnya umat bersama-sama memperjuangkan penegakan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan sehingga peran setiap orang, baik rakyat biasa, pemimpin, dan pejabatnya kembali kepada fitrah sesungguhnya sebagaimana ia diciptakan lalu diberi amanah. Semua aturan tersebut hanya bisa diterapkan oleh sebuah negara yang menerapkan aturan Islam pula. Alhasil, tidak akan terjadi penyalahgunaan fasilitas milik umat untuk kepentingan pribadi dengan alasan sebagai pejabat.

 

 

Sebagaimana pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sang Khalifah mematikan lampu saat sang putra ingin membicarakan urusan keluarganya, sedangkan saat itu Khalifah Umar bin Abdul Azis sedang bekerja dengan menggunakan lampu (disebutkan lilin/lentera) yang merupakan milik negara. Kisah ini cukup menjadi peringatan sekaligus pelajar bagi kita untuk tidak bermudah-mudahan dalam hal yang dilarang oleh aturan Islam. Wallahu a’lam

Please follow and like us:

Tentang Penulis