Bacaleg Mantan Napi, Realitas Buruk Demokrasi
Oleh: Rasya Tsaurah
LenSa Media News _ ICW (Indonesia Corruption Watch) kembali menemukan sejumlah mantan napi korupsi yang menjadi bacaleg (bakal calon legislatif). Temuan awal. ICW mendapatkan 15 nama mantan napi korupsi bacaleg untuk DPR dan DPD. Kali ini, ICW menemukan 24 orang mantan napi korupsi untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota (Kompas.com, 29/8/2023). Dengan demikian total ada 39 orang mantan koruptor yang menjadi calon legislatif. Temuan ini bukanlah hal aneh, sebab KPU tidak melarang mantan napi korupsi mencalonkan diri menjadi legislator. Alasannya, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih melalui pemilu (tanpa memandang status mereka).
Realitas Buruk Demokrasi
Seluruh mantan koruptor yang menjadi bacaleg, diusung oleh partai. Partai yang mengajukan nama mantan koruptor sejatinya telah mengonfirmasi kegagalannya dalam mengkader. Secara tidak langsung, partai menyatakan bahwa tidak ada kader lain yang kompeten sehingga ‘terpaksa’ mencalonkan mantan koruptor. Ataukah mantan koruptor ini sengaja dipilih partai dengan alasan merekalah orang yang memiliki uang?
Sudah menjadi rahasia umum, setiap caleg harus menyediakan dana besar untuk pencalonannya. Direktur Prajna Research Indonesia, Sofyan Herbowo mengatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk mencalonkan diri di DPR minimal satu miliar rupiah, untuk DPRD provinsi minimal 500 juta rupiah, dan untuk DPRD Kabupaten/Kota minimal 250 juta rupiah (Kompas.com, 1/8/2018). Jumlah ini digunakan untuk mengenalkan bacaleg ke masyarakat.
Inilah realitas buruk demokrasi. Orang berduit yang berpeluang untuk berkuasa. Seorang kriminal yang telah merampas uang rakyat justru diberi keleluasaan untuk melenggang sebagai wakil rakyat. Ironis! Sebaliknya, orang dengan track record baik, bila tidak punya modal, maka kecil atau bahkan tertutup peluangnya untuk berkuasa. Padahal, modal besar inilah yang memicu wakil rakyat untuk melakukan korupsi pasca ia terpilih.
Siapa yang menjamin para mantan koruptor ini tidak akan korupsi lagi saat nanti mereka menjabat sebagai wakil rakyat? Apalagi di antara para bacaleg tersebut, ada yang memang sudah berulang kali melakukan korupsi. Sebut saja, Susno Duadji. Mantan Kabareskrim Polri yang juga pernah menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat-tersandung kasus korupsi dana pengamanan pemilu pilkada Jawa Barat tahun 2009 dan korupsi dalam penanganan perkara PT. Salmah Arowana Lestari (SAL). Beginilah potret demokrasi yang gagal melahirkan sosok pemimpin yang amanah.
Kembali Kepada Islam
Berbeda dengan demokrasi, Islam memiliki pandangan yang khas tentang kepemimpinan. Seorang pemimpin (termasuk wakil rakyat) haruslah orang yang beriman dan bertakwa agar ia mampu amanah dan menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya.
Pemimpin diposisikan sebagai pelayan rakyat sehingga bekerja untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Bila seorang pemimpin terbukti tidak amanah, misalnya dengan melakukan korupsi, maka Allah SWT. mengancamnya dengan keras. Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanah untuk memimpin suatu rakyat, lalu ia tidak menindaklanjutinya dengan baik, melainkan ia tak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam Islam, korupsi merupakan tindak kriminal. Negara memberlakukan hukuman yang keras dan tegas pada pelakunya berupa publikasi ke publik, penyitaan harta, takzir, bahkan hingga hukuman mati. Hukuman ini disesuaikan dengan beratnya kasus korupsi. Negara pun tidak akan memberi ruang sama sekali bagi mantan koruptor untuk menjabat sebagai penguasa, pejabat, ataupun pegawai. Penerapan sanksi yang konsisten, didukung oleh suasana keimanan yang kental akan mencegah perilaku korupsi sehingga kemaslahatan rakyat akan tercapai.
Wallahu’alam.
(lM/SN)