Bahaya, Produk Lokal Tergilas, Produk Asing Menderas!


Oleh: Carminih, SE

 

LensaMediaNews___Indonesia menjadi target pasar menggiurkan bagi platform perdagangan asing, salah satunya Tiktok. Modal sebanyak 148 triliun, akan digelontorkan dalam lima tahun mendatang. Tiktok juga dikabarkan sedang mengembangkan Projek S. Yakni, sebuah langkah untuk mengoleksi data produk yang laris manis di suatu negara, kemudian diproduksi sendiri di Tiongkok.

 

 

Pengamat teknologi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi menyatakan, Projek S Tiktok ini berpotensi mengancam keberlangsungan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia. Sebab, produk-produk luar negeri akan dengan mudah di jual dan masuk ke Indonesia. Bila pasar Indonesia diserbu barang impor, justru negara tempat barang tersebut diproduksilah yang akan maju, bukan Indonesia. (kontan.co.id, 10-7-2023)

 

Ditambah, belum ada aturan ketat mengenai produk impor di E-commerce. Seperti pernyataan Bhima Yudhistira, direktur Center of Economic And Law Studies (Colios), bahwa pengaturan soal konten produk impor di E-commerce belum ketat, khususnya untuk E-commerce yang menerapkan praktik cross border, seperti Shopee dan Lazada, hingga yang menerapkan model bisnis social commerce, seperti Tiktok Shop.

 

 

Bima juga menyampaikan, bahwa masalah di Tiktok ini menunjukkan belum adanya pengaturan dan pengawasan dari pemerintah terkait jual beli menggunakan platform media social atau social commerce. Seharusnya, Tiktok tunduk pada aturan terkait konten lokal dalam ritel, perlindungan konsumen dan penjual, karena masih masuk ke dalam bentuk jual beli secara elektronik. Berjualan live di Tiktok Shop, atau pun pada platform E-commerce lainnya, tidak boleh dibedakan. Supaya tidak dijadikan jalan masuk bagi barang impor, sehingga usaha lokal bisa bertahan. (medcom.id, 10-7-2023)

 

 

Demikian pincangnya praktik ekonomi dalam sistem kapitalis. Keran produk impor akan terus mengucur deras dan tidak terbendung, selama negara masih berpegang pada kebijakan ekonomi neo-liberal. Ekonomi neo-liberal mengacu pada filosofi ekonomi politik. Mengandung prinsip menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi. Setiap kebijakan harus mengikuti kepentingan pengusaha. Mereka lebih diuntungkan dengan impor dari pada memproduksi sendiri.

 

 

Inilah mekanisme perdagangan dalam sistem kapitalis, jauh berbeda dengan mekanisme perdagangan dalam sistem Islam. Dalam Islam, transaksi perdagangan antara negara dengan wilayah di luar negara, fokusnya adalah pelaku perdagangannya, bukan barang apalagi keuntungan.

 

 

Status hukum komoditi (produk) bergantung pada pedagangnya. Apakah dia warga negara Islam ataukah darul kufur (di luar wilayah negara Islam). Siapa pun yang berada di dalam negara Islam, baik muslim ataukah non-muslim, tetap dianggap warga negara Islam dan boleh melakukan transaksi jual beli di antara dua wilayah yang sama-sama berada dalam naungan negara Islam. Sedangkan orang-orang yang berada di luar wilayah negara Islam (darul kufur) maka tidak boleh bertransaksi dengan negara Islam, baik ekspor maupun impor, sekalipun memeluk agama Islam.

 

 

Pedagang berstatus warga negara Islam, diijinkan melakukan aktivitas perdagangan luar negeri atau ekspor impor tanpa perlu adanya surat ijin ekspor impor. Namun, jika ada dampak negatif bagi negara, akibat kegiatan ekspor-impor dari suatu komoditas, maka komoditas tersebut dilarang untuk diperjualbelikan. Sebab akan membahayakan negara itu, atau ternyata komoditas tersebut masih dibutuhkan oleh negara.

 

 

Aturan-aturan perdagangan dalam sistem Islam, jika dipraktikkan akan melindungi para pedagang dalam negeri. karena barang dagangannya terbebas dari persaingan dengan barang impor yang lebih murah dan diminati. Pelaku usaha tidak memiliki banyak kendala saat melakukan aktivitas jual beli di dalam negeri. Sehingga akan diperoleh kemakmuran bahkan keberkahan. Maka jelas memang hanya negara Islamlah yang mampu memberikan keadilan dalam perdagangan.

Wallahu A’lam bi Ash-shawwab

Please follow and like us:

Tentang Penulis