Tradisi Berbahaya, Haruskah Dipelihara?
Oleh: Anita Ummu Taqillah
(Pegiat Literasi Islam)
Lensa Media News – Tradisi atau leluri adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Kebiasaan yang diulang-ulang ini dilakukan secara terus menerus karena dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang, sehingga sekelompok orang tersebut melestarikannya. (Wikipedia)
Tradisi di setiap daerah pun berbeda-beda, sesuai dengan kepercayaan, adat, dan aktifitas masyarakat disekitarnya. Namun sayangnya, tidak semua tradisi memberi manfaat dan efek baik bagi masyarakat. Ada pula yang ternyata berbahaya dan mengancam nyawa manusia.
Salah satu contohnya adalah tradisi brandu atau purak di Gunungkidul. Dilansir CnnIndonesia (8/7/2023), dalam sebuah investigasi oleh Balai Besar Veteriner Wates dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul, disebutkan bahwa tradisi ini merupakan pemotongan sapi dan kambing sakit atau mati yang dipotong paksa dan dagingnya diperjualbelikan dengan harga murah ke tetangga. Meski warga sebenarnya sadar akan resiko antraks dan dilarang, namun dengan dalih tradisi maka warga tetap terus melestarikan kegiatan tersebut.
Dalam investigasi tersebut, diduga bahwa tradisi tetap ada akibat dua sisi cara pandang. Yaitu dari sisi peternak yang ingin mempertahankan nilai ekonomi dari ternak yang mati. Yang kedua dari sisi masyarakat yang menganggap sebagai bentuk gotong royong bagi tetangga yang mengalami musibah ternaknya mati.
Akibatnya kasus antraks terus bermunculan di Gunungkidul. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyebut, berdasarkan data Kemenkes terdapat tiga orang yang meninggal karena antraks di Kapanewon Semanu, Gunung kidul. Selain itu, sampai Rabu (5/7), Kementerian Pertanian mencatat 12 ekor hewan ternak mati (enam sapi dan enam kambing). Sementara 85 warga positif antraks berdasarkan hasil tes serologi yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Jatim.tribunnews, 8/7/2023).
Kasus demi kasus antraks yang terjadi di Gunungkidul seharusnya menjadi alarm darurat bagi negara. Penanganan dan solusi tidak hanya mengatasi dari sisi penyebab antraks, tetapi juga dari sisi pemahaman serta sisi ekonomi masyarakat.
Hal ini menunjukkan wajah suram negeri yang dicengkeram sistem Kapitalisme. Perhatian kepada masyarakat seolah tertutupi kepentingan lainnya. Kepentingan melestarikan budaya dan tradisi untuk tujuan wisata begitu diupayakan dan dibanggakan. Namun, dampaknya seolah diabaikan. Baru ketika terjadi kasus yang mengorbankan nyawa, baru heboh mengatasinya.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, dalam sistem Kapitalisme saat ini, kesulitan ekonomi bagi masyarakat bawah atau pedesaan sangat terasa mengguncang. Sebab, kesenjangan semakin meningkat. Yang kaya dan mempunyai modal usaha semakin melejit kekayaannya. Sedangkan masyarakat yang pas-pasan semakin kesulitan.
Apalagi tahun berganti tahun tidak ada perubahan ekonomi yang lebih baik, namun justru kesulitan demi kesulitan yang mereka rasakan. Sehingga tak heran jika tradisi brandu seperti yang ada di Gunungkidul masih dilestarikan.
Maka sudah saatnya kita mencari solusi tuntas dari sistem buatan Allah Swt., yaitu sistem Islam. Dalam Islam, negara berkewajiban membangun dan menjaga keimanan masyarakat. Ditambah dengan pemberian pemahaman terkait tentang hukum syariat. Sehingga setiap aktifitasnya selalu terikat dengan hukum syariat. Halal dan haram menjadi cara pandang dalam menentukan setiap perilakunya.
Di sisi lain, ekonomi masyarakat juga mendapat perhatian khusus. Sebab dalam Islam, kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan akan dicukupi dan ditanggung oleh negara. Begitu pula dengan pendidikan dan keamanan juga akan dimudahkan, bahkan bisa gratis.
Sehingga, dengan adanya pemahaman terhadap syariat, diiringi dengan ekonomi yang layak, maka tidak akan ada rasa ’eman’ terhadap ternak yang mati dan tidak pula mempertahankan tradisi yang tidak diridhoi Ilahi. Dengan demikian, penanganan penyakit seperti antraks akan mudah ditangani, sebab didukung juga oleh masyarakat sekitarnya.
Wallahu’alam bishowab.
[LM/nr]