Negara yang Dirindukan, Negara yang Menjamin Kesejahteraan Anak
Oleh: Najma Nabila
Lensa Media News – Kasus nestapa anak speech delay di Tangsel yang tewas disiksa orang tuanya sesungguhnya mengagetkan kita semua. Bagaimana bisa orang tua setega itu pada anaknya, menyiksa dikarenakan sang anak terlambat bicara. Kehadiran anak yang semestinya mendapatkan kasih sayang dan perhatian malah membuat kesal dan berakhir pada hilangnya nyawa (TribunNews 28/6).
Penganiayaan dua anak di Malang juga membuat geleng-geleng kepala. Kedua anak yang dimenangkan hak asuhnya oleh sang Ibu selepas sidang cerai, malah membuat keduanya putus sekolah dan diminta berjualan dengan berharap belas kasih orang lain. Jika dagangannya tak habis, maka pulang bukanlah melepas lelah, namun bersiap menghadapi siksaan dari ibu kandung sendiri (TribunNews 28/6).
Betapa perih membaca berita akhir-akhir ini. Nasib anak bangsa yang menjadi korban kekerasan orang terdekat sendiri seharusnya tak pernah terjadi. Namun, pada kenyataannya belakangan ini justru marak diberitakan. Seolah-olah orang tua kandung kehilangan rasa kasih sayangnya, tergantikan oleh rasa sayang terhadap hal lain sehingga sampai mengorbankan anaknya.
Perilaku seperti ini tentu karena hal yang sistemik. Belum siapnya seorang manusia menjadi orang tua bisa diakibatkan karena pendidikan yang tidak mendewasakan secara akal dan mental. Beban kognitif diutamakan ketimbang kesiapan menjalani kehidupan. Padahal ujian dalam kehidupan jauh lebih nyata dan lebih kejam dibanding kertas ujian di bangku sekolahan.
Belum lagi akhlak dan adab yang jauh dari individu-individunya, menyebabkan berkomentar semudah membalikkan telapak tangan. Tak ada filter untuk kata-kata yang bisa membuat sakit hati orang lain, yang membuatnya melampiaskan kekesalan justru pada anak sendiri. Dianggap sebagai biang keladi, padahal nyatanya justru orang tua yang belum mampu meregulasi emosi.
Sungguh PR kita terhadap generasi penerus bangsa amatlah banyak. Tak cukup mengandalkan orang tua-orang tua yang sudah paham dan berilmu. Semakin bertambah angka kekerasan pada anak jika negara tak segera mengambil peran. Bukan peran kuratif, yang hanya menindak pada kejadian yang sudah terjadi. Namun juga diperlukan peran prefentif. Bagaimana agar jangankan sebelum lahir anaknya, individu-individu yang memutuskan untuk menikah memang siap lahir batin dengan pernikahan dan segala konsekuensinya. Bukan hanya orang-orang yang ingin nikmat dunianya saja, tapi tak siap dengan tanggung jawab akhiratnya.
Negara juga perlu membangun iklim sehat pada warganya. Saling sayang, saling dukung, saling menghormati. Saat ini yang ada justru saling nyinyir, saling melempar komentar pedas, jauh dari kata mendukung satu sama lain. Menjadi orang tua saja sudah berat, apalagi menjalani amanah dengan anak berkebutuhan khusus. Pekerjaan ini tidak bisa dijalankan secara pribadi. Terlalu lama multiplier effect-nya. Dan hanya pada Islamlah hal sesederhana ini diatur dengan lengkap, detail, dan menyeluruh. Negara mengatur pemenuhan ekonomi, meratakan pendidikan gratis, menjamin Kesehatan warganya, sehingga anak-anak tak perlu bekerja dan mendapatkan siksaan begitu pulang ke rumah jika dagangannya tak habis. Negara menyiapkan rakyatnya agar punya aqliyah dan nafsiyah yang baik, sehingga terbentuklah kepribadian Islam yang dengannya mereka paham bagaimana pernikahan dengan segala konsekuensinya.
Islam menciptakan individu yang matang serta sistem yang mendukung untuk tercipta rahmat bagi seluruh umat. Allah telah mengatur segala sistem pada Islam sedemikian rupa sehingga seluruh warganya ada pada keadaan yang aman dari sisi manapun. Maka jika umat paham bahwa Islam kaffah memiliki detail pengaturan umat yang sedemikian rinci, insya Allah tak ada lagi kekerasan pada anak yang berulang kali terjadi seperti pada masa ini.
Wallahu a’lam bish shawwab.
[LM/nr]