Hentikan Konflik Baru dan Berkepanjangan

Keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama adalah sesuatu yang sangat dirindukan oleh setiap manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun, apa jadinya jika lahirnya berbagai kebijakan yang diterapkan dalam sebuah sistem, justru dianggap sebagai sebuah bentuk diskriminasi. Berbicara soal diskriminasi di Indonesia khususnya, adalah berbicara soal konflik yang menyasar Islam dan pemeluknya sebagai pihak yang tertuduh. Umat Islam dianggap sebagai umat yang intoleran dan pihak yang selalu menghambat bahkan menambah pelik masalah.

Kasus terbaru adalah konflik ijin pendirian gereja di Cilegon, yang melibatkan banyak pihak menggugat Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9/2006 dan No.8/2006 terkait Pendirian Rumah Ibadah pada Maret 2023. Meski gugatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) pada 8 Juni 2023, Kementerian Agama justru mempermudah ijin pendirian rumah ibadah dengan menerbitkan Perpres tentang Kerukunan Umat Beragama. Juru bicara Kemenag, Anna Hasbie mengungkapkan bahwa pendirian rumah ibadah tidak perlu ada rekomendasi dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) melainkan cukup rekomendasi dari kepala kantor Kementerian Agama daerah setempat. Hal ini dikarenakan hadirnya FKUB dianggap sebagai batu sandungan dan senjata yang digunakan oleh kelompok intoleran yang ingin melarang bahkan diklaim sering mengeluarkan rekomendasi penutupan rumah ibadah. (BBC News Indonesia ,7 Juni 2023).

Alasan diskriminasi yang disampaikan oleh Kemenag (Kementrian Agama) sesungguhnya tidaklah benar adanya, bahkan tanpa bukti. Yang terjadi sebenarnya adalah umat Islam lah yang justru merasakan diskriminasi atas berbagai kebijakan yang ada saat ini. Tuduhan radikal dan intoleran disematkan kepada Islam, stigma perusak bangsa bahkan kriminalisasi para ulama terjadi pada umat Islam. Kebijakan sertifikasi dai, penyeragaman teks khutbah Jum’at, serta larangan membicarakan persoalan politik di mesjid adalah bentuk diskriminasi terhadap Islam. Sementara itu, dilansir dari satudata.kemenag.go.id jumlah mesjid pada 2021 meningkat 1,97%, yakni sebanyak 285.631. Sedangkan jumlah gereja meningkat 23,46% yakni sebanyak 283.631.(Republika.id).

Jumlah umat Islam sebanyak 86,93% dari penduduk Indonesia, sedangkan populasi umat Kristen hanya 10,55%. Jika dilihat dari data Kemenag tersebut, artinya jumlah gereja sudah melebihi kebutuhan jumlah jemaat. Bagaimana bisa hal ini dikatakan sebagai bentuk diskriminasi.

Sejatinya, akar masalah dari semua konflik ini lahir dari kegagalan negara menciptakan kerukunan antar umat beragama dan antar umat manusia. Negara dengan sistem kapitalisme sekulernya telah melahirkan kebijakan-kebijakan islamofobia yang memperkeruh konflik. Oleh karenanya, membuang sistem rusak buatan manusia ini dan menggantinya dengan sistem Islam adalah hal yang niscaya dan tidak dapat ditawar lagi. Dalam Islam, pembangunan rumah ibadah hanya boleh didirikan di pemukiman agama masing-masing sebagai bentuk penjagaan negara terhadap akidah umat. Setiap warga negara baik muslim maupun non muslim diperlakukan sama serta dapat merasakan keadilan.

Fatimah Nafis

[LM/nr]

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis