Manisnya Gula Tak Semanis Impor Gula
Oleh : Ummu Syahamal
Lensa Media News – Lagi-lagi jelang lebaran tahun ini negara akan mengimpor gula. Hal ini untuk mencegah terjadinya kelangkaan. Dimana negara telah mencanangkan impor sebanyak 215.000 ton gula (http://finance.detik.com, 25/3/2023). Januari sampai Desember 2023 diperkirakan produksi gula dalam negeri sekitar 2,6 juta ton sedangkan kebutuhan gula nasional 2023 sekitar 3,4 juta ton. Ada selisih 0,8 juta ton kebutuhan gula dalam negeri yang belum terpenuhi sehingga menjadi dalih untuk impor.
Sayangnya kebijakan impor gula ini tak semanis rasa gula. Kebijakan ini justru menunjukkan gagalnya negeri ini mewujudkan ketahanan pangan di negeri yang notabene memiliki lahan luas nan subur. Bayangkan negeri yang mulanya sanggup berswasembada gula (mediaIndonesia.com, 5/8/2020) kini justru termasuk menjadi salah satu pengimpor gula tertinggi dunia (liputan6.com, 20/9/2021).
Kurangnya stok untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang sangat besar menunjukkan ketidakmampuan negara mencukupi kebutuhan gula dalam negeri. Mengapa ini bisa terjadi? Jika kita telisik, inilah dampak runyamnya tata kelola pertanian dalam sistem berbasis kapitalisme. Dimana saat ini pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan regulator saja. Sedangkan mulai dari produksi, distribusi sampai importasi diserahkan ke korporasi termasuk BUMN. Meskipun dilakukan oleh BUMN, namun tak dimungkiri lembaga ini masih berorientasi untung rugi. Padahal selama negara masih mengurus rakyatnya seperti mengurus perusahaan, maka negeri ini takkan bisa mewujudkan ketahanan pangan yang merdeka dan berdaulat.
Lihatlah bagaimana suksesnya israel mengolah tanah gersangnya menjadi lahan pertanian. Hal ini menjadi bukti nyata bagaimana sebuah negara memperjuangkan ketahanan pangannya meski dengan biaya yang tak sedikit dan upaya yang berlipat. Karena mereka tak memikirkan untung rugi belaka. Tapi mereka sadar benar peran ketahanan pangan bagi eksistensi negara mereka. Indonesia yang telah punya segalanya semestinya bisa menandingi negara-negara lain yang bisa maju pertaniannya seperti Australia dan Thailand. Mengapa? Karena tanah kita subur dan luas, SDM petani maupun ilmuwan ahli pangan dan pertanian kita punya, teknologi pun kita mampu. Jadi apa yang kurang? Political will itulah jawabannya.
Butuh politicall will. Butuh power untuk mensinergikan semua modal yang telah dimiliki bangsa ini. Islam memiliki konsep nyata bagaimana mensinergikan semua modal yang dimiliki bangsa ini untuk mewujudkan ketahanan pangan. Karena Rasulullah bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Sehingga dalam konsep Islam seorang pemimpin dituntut hadir mengurus dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Termasuk dalam hal mewujudkan ketahanan pangan rakyatnya. Maka, mulai dari produksi ,distribusi hingga importasi yang berkaitan dengan pangan dan pertanian harus ditangani langsung negara langsung.
Masalah produksi gula erat kaitannya dengan luasa lahan tebu. Sayangnya disebutkan oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) bahwa luas lahan tebu terus berkurang (Tempo, 2019). Selama kurun tiga tahun terus berkurang sampai 70 ribu hektar. Menurunnya lahan tebu ini karena alih fungsi lahan. Para petani tebu yang terus merugi karena harga rendah banyak yang memilih menjual tanah mereka. Yang membeli lahannya adalah para pemilik modal, termasuk para pebisnis properti. Akhirnya, banyak lahan tebu disulap menjadi perumahan. Negara harus bertindak tegas mencegah masalah alih fungsi lahan pertanian dengan regulasi khusus untuk lahan pemukiman dan industri. Agar jangan sampai lahan tebu beralih fungsi untuk nonpertanian. Selain itu, penerapan sistem pertanian Islam akan mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah mati. Negara juga bisa memberikan tanah secara cuma-cuma kepada orang yang mampu dan mau bertani namun tidak mempunyai lahan. Negara juga akan melarang praktik penyewaan lahan pertanian. Hikmah penerapan syariat ini oleh negara adalah mencegah adanya tanah terlantar. Dengan demikian, penerapan syariat ini akan menjaga luasan lahan tebu stabil bahkan bertambah.
Masalah lainnya adalah faktor alat dan sarana produksi pertanian. Alih-alih mendukung para petani tebu, pemerintah malah sedikit demi sedikit mengurangi, bahkan mencabut subsidi, mulai dari subsidi bibit, pupuk, hingga saprodi. Dampaknya, menyebabkan ongkos produksi gula dari tebu naik. Padahal para petani tebu harus bersaing dengan gula impor yang lebih murah. Akhirnya, banyak petani tebu yang merugi dan berakibat jumlah petani tebu makin berkurang. Terkait masalah ini Islam memberi solusi dengan intensifikasi pertanian. Yang dilakukan dengan cara penyediaan bibit unggul, pupuk, serta menyediakan obat-obatan dengan harga terjangkau bahkan menggratiskannya. Bila masih kurang, pemerintah juga bisa memberikan bantuan modal langsung kepada petani.
Namun penerapan sistem pertanian Islam ini tak bisa berdiri sendiri, harus ditopang juga dengan sistem lainnya seperti politik ekonomi Islam , peradilan Islam , dan sistem keuangan Islam. Dengan sistem politik ekonomi islam maka kas negara yang bersumber dari pengelolaan harta milik umum dapat dialokasikan untuk mensubsidi para petani dan memperkuat intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Dengan pengelolaan dana zakat yang tepat maka petani gurem yang termasuk dalam 8 asnaf zakat bisa mendapat dana segar untuk menuntaskan kemiskinannya. Dengan sistem keuangan berbasis emas dan perak maka nilai uang akan stabil dan berpengaruh pada kestabilan harga hasil pertanian maupun aset-asetnya. Dengan sistem peradilan Islam maka keadaan pasar dipantau langsung agar berbagai distorsi pasar seperti penimbunan barang, riba, monopoli pasar dan penipuan dapat dicegah dan ditumpas. Pemantauan langsung ini dilakukan dengan menegakkan keadilan langsung di pasar tanpa proses yang bertele-tele. Sebagaimana pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ada Peradilan Hisbah, yaitu peradilan yang menyelesaikan langsung masalah, sengketa, dan kecurangan di pasar-pasar. Sehingga tidak akan terjadi seperti seperti sekarang dimana negara membiarkan para kapital leluasa menguasai pasar, hingga melakukan penimbunan, monopoli dan kartel.
Dengan sistem perekonomian Islam maka pengendalian harga dilakukan negara dengan pengendalian supply and demand, bukan melalui kebijakan pematokan harga seperti saat ini. Saat terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis) maka negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog harus segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain atau mendistribusikan ke wilayah yang memerlukan. Sehingga tak ada lagi petani yang merana seperti sekarang karena harga hancur saat panen raya. Negara juga harus memastikan pasokan yang ada terdistribusi merata sehingga harga stabil dan kebutuhan rakyat pun tercukupi.
Bila semua upaya di atas untuk menjaga stok gula telah dilakukan namun belum berhasil, barulah kebijakan impor dilakukan. Karena impor memang tidaklah haram. Hanya saja jangan sampai negara menjadi ketergantungan dengan impor. Terlebih jangan sampai pula bergantung kepada negara kafir. Sebagaimana di surat annisa ayat 141 Allah melarang memberikan jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman. Demikianlah gambaran Islam saat diterapkan secara sistemis. Ketahanan dan kedaulatan pangan bukanlah hal yang mustahil.
[LM/nr]