Metamorfosis Korupsi, Dapatkah Tuntas Dibasmi?
Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat literasi)
LensaMediaNews__Beberapa waktu lalu, gagasan adanya UU Perampasan Aset mencuat kembali usai Menkopolhukam meminta DPR RI untuk mendukung kehadiran UU tersebut. Sayangnya, mengutip laman daring Republika, dikabarkan bahwa permintaan itu ditolak Ketua Komisi III, jika bukan atas perintah ketua umum partai.
Pikir punya pikir, wajarlah jika usulan Undang-undang tersebut di atas mengemuka. Bagaimana tidak, banyak aset yang dimiliki para pejabat atau pemangku kebijakan terbukti hasil dari tindak kejahatan korupsi. Bahkan tak main-main, perbuatan korupsinya juga ternyata bermetamorfosis layaknya kupu-kupu. Bedanya, kalau kupu-kupu jadi indah, kalau korupsi menjadikan rakyat menderita. Lihat saja perubahannya, mulai dari yang diselipkan di bawah meja hingga yang diserahkan langsung dengan tangan. Dari yang nominalnya tergolong kelas teri sampai kakap ukuran raksasa. Bahkan bisa berawal dengan menyulap nominal uang menjadi lebih banyak dari seharusnya, berakhir dengan pencucian uang. Parah memang.
Poin pentingnya adalah, dapatkah produk hukum tersebut mengatasi atau syukur-syukur membasmi tuntas tindak korupsi, terutama yang dilakukan elit dan para politisi. Masih diragukan sepertinya, mengingat masih pagi sekali sudah datang penolakan dari kalangan legislatif yang selama ini tandem pemerintah dalam menelurkan sebuah undang-undang. Berbagai upaya lain juga sudah dilakukan terkait hal ini, namun alih-alih korupsi berkurang, justru semakin merajalela. Lantas bagaimana seharusnya kejahatan ini diatasi? Bila perlu, dicegah sebelum terjadi sebab mencegah itu selalu lebih baik dari mengobati.
Kasus demi kasus korupsi dan upaya mengatasinya yang kerap kali gagal idealnya bisa mengantarkan kita pada satu kesimpulan, butuh adanya sistem alternatif selain demokrasi dalam bingkai sistem kapitalisme yang tegak saat ini.
Lalu mengapa tidak mengambil Islam? Selain karena konsekuensi dari iman kepada Sang Maha Pencipta, juga sebabnya tak lain Islam memang diturunkan untuk jadi rahmat dan petunjuk bagi seluruh manusia hingga akhir masa. Tak hanya mengatur urusan ibadah sholat, zakat, puasa serta haji tapi juga seluruh sisi kehidupan termasuk perkara korupsi sejak dari hulu hingga ke hilir.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl: 89)
Berikut sekilas gambaran antisipasi dan penyelesaian korupsi dalam Islam; pertama, negara wajib memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka.
Kedua, dalam pengangkatan aparatur negara, Islam menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Dengan begitu, mereka memiliki kontrol yang kuat atas setiap perbuatannya.
Ketiga, untuk mengetahui, apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, negara juga menetapkan kebijakan pembuktian terbalik yaitu perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka Islam mewajibkan negara untuk menyita.
Keempat, sanksi terhadap pelaku juga diatur dalam Islam dalam bentuk hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Selain memberi efek jera juga jadi sarana menghentikan calon-calon pelaku agar tak sampai melakukan kecurangan dan manipulasi.
Pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khatthab. Beliau membuat kebijakan dengan pembuktian terbalik. Caranya, kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika terdapat selisih, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk mengambil alih semua harta tersebut. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.
Berdasarkan laporan tersebut, Umar Ra. kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain ketika itu. Bahkan beliau juga pernah melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan antara melayani urusan rakyat dengan mengejar keuntungan.
Tetapi penting untuk dicatat, semua langkah di atas dapat terlaksana jika dan hanya jika syariat Islam diterapkan secara kafah tanpa terkecuali. Sebagai bentuk ketaatan yang lahir dari sebuah keimanan tanpa tapi, tanpa nanti. Wallaahu a’lam bishshwab.