Demi Devisa, Rakyat Jadi Tumbalnya
Oleh : Umi Rizkyi
(Kontributor Lensa Media)
LensaMediaNews__Beberapa hari ini telah mengejutkan masyarakat Indonesia dengan adanya turis yang melakukan banyak ulah. Mulai dari sebagai pekerja, jualan sayur hingga ada yang melakukan perbuatan kriminal.
Karim (Direktur Jenderal/dirjen imigrasi, kementerian hukum dan hak asasi manusia) menyatakan, jajarannya akan menggelar operasi menindak pelanggaran wisatawan asing di Bali “Saya sudah beri arahan untuk dilakukan operasi atas pelanggaran keimigrasian di Bali,” jelas Silmy saat dihubungi Kompas.com, Senin (6/3/2023)
Beliau menyatakan bakal konsisten menegakkan aturan dengan cara yang santun. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan citra buruk Indonesia di mata warga negara asing (WNA).
“Sudah beberapa yang dideportasi sejak minggu lalu,” ujarnya. Silmy mengungkapkan, setelah dihantam pandemi Covid-19, Indonesia membutuhkan turis di Bali untuk kembali menggerakkan roda perekonomian lokal dan menata lagi perekonomian di bidang pariwisata.
Oleh karena itu, pemerintah pun mengambil jalan praktis. Dengan cara mempermudah akses bagi turis asing yang hendak berwisata ke Bali. Silmy menjelaskan, pihaknya memperkuat lini pengawasan dan penindakan terhadap turis asing.
Langkah ini mulai dilakukan ketika bergabung dan memimpin Direktorat Jenderal Imigrasi pada 4 Januari lalu. Pihak Imigrasi, “telah menginventarisasi dan memetakan masalah terkait keimigrasian sebelum beberapa ulah turis asing mencuat ke publik” jelas Silmy.
“Pas momennya kita eksekusi operasi mulai minggu lalu,” papar Silmy. Diberitakan sebelumnya, keberadaan turis asing di Bali belakangan menyedotbperhatian karena melakukan berbagai bentuk pelanggaran. Misalnya, turis asing asal Rusia yang berinisial SZ kedapatan bekerja sebagai fotografer di Bali. Ia menawarkan jasanya di media sosial. Pekerjaan sebagai fotografer tersebut ilegal. Adapun SZ sebelumnya mengaku sebagai direktur perusahaan di bidang real estat dan restoran.
Namun, perusahaan itu belum beroperasi. SZ kemudian dideportasi oleh pihak Imigrasi. “Ditemukan satu WNA yang melakukan aktivitas sebagai fotografer,” kata dia, Selasa (28/2/2023).
Nah beginilah jika sebuah negara menerapkan sistem yang batil. Di mana negara hanya sebagai regulator saja. Bukan sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyatnya. Hanya berpatokan untung dan rugi terkait dengan materi.
Dalam sistem ini, pariwisata adalah salah satu sumber pokok perekonomian negara. Dengan memanfaatkan potensi dan keindahan alam, keragaman budaya dan keunikan tradisi yang hidup di masyarakat. Hal ini menjadikan pariwisata sebagai sektor yang cukup efektif dalam menambah pendapatan negara.
Negara lebih mementingkan keuntungan materi semata. Negara menyadari Indonesia bahwa pariwisata bisa berdampak negatif bagi masyarakat, yakni invasi pemikiran dan budaya yang dibawa para turis asing, terutama bagi masyarakat yang hidup di sekitar objek wisata.
Hal ini tentunya jauh berbeda dengan sistem Islam. Kebijakan seorang kholifah terkait keindahan dan potensi alam yang ada. Berdasarkan pendapat yang ditulis oleh K.H. Hafidz Abdurrahman berjudul Kebijakan Khilafah di Bidang Pariwisata, ada tujuh prinsip yang harus diterapkan Khilafah dalam memandang pariwisata.
Pertama, Khilafah adalah negara dakwah. Artinya, Khilafah menerapkan seluruh hukum Islam di dalam dan ke luar negeri. Khilafah menegakkan kemakrufan dan mencegah segala bentuk kemungkaran dan kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan.
Kedua, keindahan alam yang Allah SWT berikan, misalnya pantai, pegunungan, air terjun, serta peninggalan bangunan bersejarah Islam, bisa menjadi objek wisata sebagai sarana dakwah dan propaganda Islam. Tujuannya, menanamkan pemahaman Islam, menunjukkan kehebatan Islam, dan mempertebal keyakinan atas keagungan Islam kepada wisatawan yang berkunjung ke objek wisata tersebut. Agar setelah berkunjung ke sana para turis asing akan memahami kekuatan, kehebatan dan juga keagungan Islam untuk seluruh manusia.
Ketiga, objek wisata yang merupakan peninggalan peradaban lain di luar Islam, maka Khilafah menetapkan dua hal: (a) apabila berbentuk tempat ibadah nonmuslim, jika masih digunakan, maka akan dibiarkan, tetapi tidak ada renovasi atas hal itu andaikata mengalami kerusakan. Jika sudah tidak digunakan maka tempat ibadah itu ditutup dan bisa dihancurkan; (b) jika bukan berwujud peribadatan, maka negara akan menutup, menghancurkan, dan mengubahnya agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.
Keempat, sektor pariwisata bukanlah sumber devisa. Ini karena Khilafah memiliki sumber pemasukan yang berasal dari harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, usyur, hasil SDA, dan lainnya.
Kelima, Khilafah mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Ini berarti negara lebih memprioritaskan segala kebutuhan pokok masyarakat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, tidak terkecuali kenyamanan bagi warga negaranya.
Keenam, warga negara asing boleh memasuki wilayah Khilafah dengan izin masuk, seperti kafir mu’ahid (negara yang mengikat perjanjian dengan Khilafah) dan kafir musta’min (orang yang masuk dengan seizin Khilafah untuk mendapat jaminan keamanan). Adapun kafir harbi fi’lan, tidak boleh ada ikatan perjanjian dengan negara jenis ini, termasuk melarang warga negara harbi fi’lan memasuki wilayah Khilafah.
Ketujuh, negara menerapkan sistem sanksi Islam pada siapa pun tanpa pandang bulu, baik muslim maupun nonmuslim. Dengan sanksi yang tegas dan membuat orang yang melakukannya jera.
Demikianlah, penjelasan bagaimana Islam mengelola pariwisata dan memperlakukan warga asing sesuai status hukumnya dalam syariat Islam. Dalam Khilafah, rakyat adalah pihak yang diurus dan dilayani sebaik-baiknya, sedangkan negara adalah pengurus dalam memenuhi dan melayani kebutuhan setiap warganya. Baik itu muslim maupun non muslim. Allahu’alam bish showab.