Tanggap Bencana Terbaik Hanya dalam Sistem Khilafah
Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd
Lensa Media News – Gempa bumi dahsyat dengan kekuatan 7,8 Magnitudo (M) mengguncang Turki dan Suriah. Gempa ini terjadi pada Senin (6/2/2023). Guncangan gempa menjalar ke negara tetangga, bahkan dirasakan hingga Pulau Siprus dan Mesir. Bangunan-bangunan ambruk dan ribuan orang meninggal dunia akibat gempa dahsyat itu.
Dilansir kantor berita AFP, Kepala Pusat Gempa Nasional Suriah, Raed Ahmed, mengatakan kepada radio pro-pemerintah bahwa gempa itu merupakan gempa bumi terbesar yang tercatat dalam sejarah pusat gempa. Banyaknya korban membuat bencana ini berada di urutan ketujuh gempa paling mematikan di dunia. Korban meninggal di Turki mencapai 17.674 jiwa, sementara yang terluka sebanyak 72.879 orang. Di Suriah, korban meninggal tercatat 3.377 orang, termasuk di area yang dikuasai kelompok pemberontak. Sedangkan yang terluka sebanyak 5.245 jiwa. Korban tewas akibat gempa di dua negara itu kemungkinan akan terus bertambah mengingat masih banyak orang yang tertimbun di reruntuhan.
Lebih dari satu pekan berlalu, jumlah korban tewas akibat gempa tersebut pun terus meningkat. Pada Kamis (16/2/2023), korban tewas dalam bencana alam terbesar di awal tahun 2023 ini telah mencapai 41.218 jiwa. Seorang pakar gempa Turki dikabarkan mendesak pemerintah untuk memeriksa retakan bendungan di wilayah gempa sebagai antisipasi karena dikhawatirkan dapat menyebabkan banjir bandang. Turki sendiri, secara geografis menjadi wilayah yang rawan gempa. Hal ini karena Turki dilewati lempeng Anatolia. Pergerakan di Patahan Anatolia Timur ini yang diyakini menjadi pemicu gempa bumi dahsyat yang terjadi Senin kemarin. Gempa seperti ini pernah terjadi pada 1939.
Berbagai gempa yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan betapa tak mudah korban mendapat bantuan. Bahkan karena adanya sanksi negara barat membuat bantuan terhambat. Nyatalah musibah tak langsung membuat negara korban mendapatkan bantuan.
Khilafah dalam Menangani Gempa
Khilafah—sebagai menjadi negara representatif penerapan syariat Islam—memiliki strategi dalam penanganan bencana, salah satunya gempa bumi. Mengutip pendapat pakar geospasial Prof. Ing. Fahmi Amhar, saat era kekhalifahan di Turki misalnya, untuk mengantisipasi gempa, yang dilakukan adalah membangun gedung-gedung tahan gempa. Sinan, seorang arsitek yang dibayar Sultan Ahmet untuk membangun masjidnya yang berseberangan dengan Aya Sofia, membangun masjid itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh dan pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata.
Masjid itu, dan juga masjid-masjid lainnya, diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya pada saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di atas 8 SR yang terjadi di kemudian hari terbukti tidak menimbulkan dampak yang serius pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh. Jadi, bencana-bencana alam selalu diantisipasi terlebih dulu dengan ikhtiar. Penguasa dalam Khilafah menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai jenis bencana. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga menyiapkan masyarakat untuk selalu tanggap darurat.
Selain itu, aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi terburuk sekalipun. Mereka tahu cara mengevakuasi diri dengan cepat, menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, mengurus jenazah yang bertebaran, dan merehabilitasi diri pasca kondisi darurat.
Para pemimpin dalam Khilafah juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat. Mereka orang-orang yang paham apa saja yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting. Mereka bukan orang-orang yang hanya pandai menjaga image dalam acara seremonial atau sekadar ikut meratap dalam doa bersama.
Khatimah
Mitigasi bencana membutuhkan paradigma dan tata kelola yang tepat sasaran, pun bersih dari motif kepentingan, terutama kepentingan segelintir pihak seperti halnya dalam sistem kapitalisme saat ini.
Perlu jadi perhatian, terdapat perbedaan motif yang mendasar antara sistem kapitalisme dan Islam dalam Khilafah. Kapitalisme senantiasa mementingkan aspek korporatokrasi sehingga akan berpengaruh terhadap seluruh kebijakan dan implementasinya termasuk dalam penanganan bencana. Sedangkan Islam, motifnya hanya untuk kepentingan rakyat sehingga sangat memungkinkan bagi Khilafah untuk meminimalisasi dampak-dampak yang terjadi akibat bencana.
Wallahu alam bisshowab.
[LM/nr]