Stunting Makin Genting
Oleh: Rizki Rahmayani, S.E
Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada anak akibat dari kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan tinggi badan anak lebih pendek dari standar tinggi badan anak seusianya.
Berdasarkan data Survey Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019 prevelensi stunting Indonesia mencapai 27,7 persen. Artinya sekitar satu dari empat balita (lebih dari delapan juta anak) di Indonesia mengalami stunting . Angka tersebut masih sangat tinggi dibandingkan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20 persen.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan “Penyebab stunting dilatarbelakangi oleh fenomena kemiskinan ekstrem seperti kendala dalam mengakses kebutuhan dasar, akses air bersih, fasilitas sanitasi dan lainnya. Stunting ini 60 persen beririsan dengan keluarga miskin ekstrem”, ujarnya.
Pemerintah telah melakukan beberapa langkah di antaranya pemberian tablet tambah darah bagi remaja perempuan, asupan tambahan bagi ibu hamil kurang gizi kronik hingga tambahan dana bantuan operasional kesehatan untuk terapi gizi dan peningkatan imunisasi dasar di puskesmas dan posyandu.
Meski sudah ada beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik melalui Kementerian Kesehatan (KEMENKES) maupun Menko PMK nyatanya penurunan angka stunting dalam tiga tahun terakhir ini masih tergolong rendah yakni sekitar 3,4 persen di tahun 2022.
Butuh Solusi Paripurna
Persoalan stunting yang makin genting haruslah mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sebab, permasalahan stunting tidak hanya disebabkan oleh rendahnya tingkat kesehatan dan gizi masyarakat namun juga berkaitan dengan masalah pendidikan dan ekonomi.
Orangtua yang kurang taraf pendidikannya akan kesulitan untuk menyajikan makanan yang sehat dan bergizi untuk anaknya karena minimnya pengetahuan tentang kesehatan dan tumbuh kembang anak. Begitu pula dengan aspek ekonomi yang menyangkut tentang kemampuan masyarakat untuk membeli bahan makanan yang sehat, memiliki tempat tinggal yang layak serta mengakses fasilitas kesehatan yang berkualitas.
Tingginya angka kemiskinan serta mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan membuat permasalahan stunting sulit untuk diselesaikan. Masyarakat butuh solusi paripurna yang mampu memberikan jaminan kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang adil dan merata. Sayangnya, hal tersebut sangat sulit didapatkan dalam sistem kapitalisme yang menjadikan kekayaan dikuasai oleh segelintir orang saja sehingga pemerataan ekonomi hanya menjadi mimpi yang tak kunjung nyata. Belum lagi fasilitas pendidikan dan kesehatan berbasis layanan bisnis sehingga hanya mampu diakses oleh mereka yang memiliki uang.
Fakta di atas menyadarkan kita, bahwasanya kita tak dapat berharap banyak dalam sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai kunci utama dalam setiap urusan masyarakat dan menjauhkan peran pemerintah sebagai pengayom rakyat yang harusnya mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan sistem islam yang menjadikan pemerintah sebagai junnah (pelindung) masyarakat, dimana negara wajib menyediakan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang gratis dan berkualitas sehingga mampu mencetak generasi yang cerdas dan sehat.
Islam juga akan mengatur perekonomian secara adil dan merata dengan mengelola seluruh sumber daya alam secara mandiri untuk memenuhi kemaslahatan masyarakat, memastikan tercukupinya lapangan pekerjaan dan distribusi harta kekayaan secara adil dan merata melalui mekanisme zakat dan baitul mal. Semua ini hanya dapat terwujud jika islam diterapkan secara menyeluruh baik dalam kehidupan individu, masyarakat hingga negara yang menjadikan islam sebagai pedoman dan acuan dalam setiap aturan yang diterapkan negara. Wallahu a’lam bishhowwab.