Triliunan APBN Untuk Perumahan, Menguntungkan Rakyat atau Korporat?
Oleh : Teti Ummu Alif
(Kendari, Sulawesi Tenggara)
LenSaMediaNews.com – Tekad pemerintah untuk memberikan hunian layak kepada masyarakat, terutama kalangan kurang mampu tampaknya sudah bulat. Pasalnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa pemerintah telah mengalokasikan sebagian anggarannya untuk membantu masyarakat memiliki rumah. Setidaknya selama 2 tahun berturut-turut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah menyisihkan Rp. 175,36 triliun untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah membeli rumah impiannya (Merdeka.com 14/01/2023).
Pemerintah rupanya begitu yakin bahwa anggaran yang telah digelontorkan tersebut sangat membantu masyarakat dalam memiliki rumah. Namun pada faktanya, angka backlog perumahan (jumlah kekurangan rumah) di Indonesia semakin membengkak yang saat ini mencapai 12,71 juta. Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur, Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna mengatakan beberapa strategi pembiayaan perumahan telah disiapkan pada tahun 2023 untuk menekan angka backlog tersebut. Apalagi, setiap tahunnya bertambah sekitar 600 – 800 ribu rumah tangga baru yang tentunya membutuhkan hunian (IDXChannel 20/12/2022).
Jika dicermati, sebenarnya pemerintah telah berupaya mengatasi backlog perumahan itu melalui alokasi anggaran APBN yang mencapai triliunan. Hanya saja, anggaran besar tersebut bukan untuk disalurkan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan rumah. Melainkan, anggaran itu diserahkan pada pihak swasta yang bergerak dalam bidang perumahan dengan tujuan menambah modal mereka. Sehingga, bisa dipastikan bahwa anggaran tersebut digunakan untuk membantu kelancaran bisnis swasta. Bukan untuk memudahkan rakyat memiliki hunian. Sungguh miris.
Jadi, alih-alih membantu masyarakat memiliki rumah impian, masyarakat kian hari justru kian sulit memiliki rumah. Bisa dikatakan bahwa berbagai program bantuan pembiayaan perumahan yang dipropagandakan pemerintah tak semanis kelihatannya.
Sejatinya, masalah perumahan rakyat bersumber dari penerapan sistem batil kapitalisme dalam tata kelola perumahan. Dalam kapitalisme, segala sesuatu yang dapat menghasilkan keuntungan materi, maka akan dikomersialkan. Termasuk perumahan, bidang ini merupakan lahan subur untuk bisa meraup keuntungan materi. Sebab, perumahan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia dan merupakan kebutuhan pokok sehingga pasti ada pembelinya.
Terlebih sistem ini meminimalkan peran pemerintah dalam mengurusi urusan rakyat. Pemerintah hanya sebagai pihak yang membuat regulasi (regulator) yang menguntungkan para operator (korporasi). Alhasil, pemerintah sekadar membuat berbagai program dan skema pembiayaan perumahan yang menguntungkan korporasi (bidang properti).
Padahal Islam telah memberikan tuntunan lengkap dalam mengelola urusan-urusan rakyat, termasuk tata kelola perumahan publik. Seorang kepala negara (Khalifah) dalam Islam adalah orang yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari).
Khalifah tidak boleh menjadi regulator yang melepaskan tanggung jawabnya kepada pihak lain, seperti operator (bank-bank, lembaga pembiayaan, dan para pengembang properti). Khalifah tidak boleh menyerahkan tata kelola perumahan kepada pihak swasta.
Pun, Khalifah tidak perlu membuat syarat tertentu bagi rakyat miskin yang membutuhkan tempat tinggal. Bahkan, khalifah sebagai kepala negara bisa memberikan rumah secara gratis kepada rakyat miskin. Hal ini memungkinkan karena anggaran Khilafah berbasis baitul mal yang bersifat mutlak. Dengan demikian rakyat akan mudah memiliki hunian layak, sehat, nyaman, serta menyejahterakan.
Wallahua’lam bishowwab.