Generasi Tanpa Malu, Bisa Maju?
Oleh: Anita Sya’ban*
Dilansir dari viva.co.id pada Kamis, 19 Januari 2023, Pengadilan Agama Malang kelas I A, mendapat 199 dispensasi pernikahan sepanjang tahun 2022. Dari angka itu, 99 persen pengajuan karena hamil di luar nikah.
Marah, malu, kecewa dan sedih setidaknya pasti ada dalam emosi kita menerima berita tersebut. Kemerosotan akhlak makin terjun bebas. Apalagi kehidupan sekuler saat ini memang menyuburkan perilaku-perilaku di luar norma. Terlebih jika membawa nama hak asasi. Seolah melegalkan dan menormalisasi perbuatan zina yang Allah nyatakan sebagai perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk sesuai dengan Q.S Al-Isra: 32.
Sudah barang tentu marak berbagai musibah dialami masyarakat sekarang. Karena dengan maraknya perzinahan tentu mengundang azab Allah, yang amatlah pedih. Sebagaimana sesuai hadits Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, “Jika zina dan riba telah tersebar luas di suatu negeri maka sungguh mereka telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri” (HR. Al Hakim, Baihaqi dan ath Thabrani).
Sebagai konsekuensi yang merupakan hukum syara’ diantaranya adalah tiada nasab ayahnya bagi anak dari hasil perzinahan, tiada pembagian waris dari jalur ayah bagi anak tersebut, karena anak tersebut dinyatakan sebagai anak ibunya. Problem lainnya yaitu timbul penyakit menular seksual diantaranya HIV Aids. Namun kian hari justru makin bertambah jumlah peristiwa yang terjadi.
Terlebih hal tersebut menimpa kalangan remaja yang seharusnya menjadi generasi yang akan melanjutkan perjuangan dan sebagai tonggak kebangkitan umat. Namun justru remaja lebih mengejar kebahagiaan semu duniawi yang berupa ketenaran dan materi semata.
Hal tersebut tentunya membutuhkan solusi tepat. Bukan sekadar solusi abal-abal. Solusi terbaik adalah dari Islam. Secara tegas telah diatur bahwa kehidupan laki-laki dan perempuan berbeda, yakni terpisah. Kec ituali dalam hal yang diperbolehkan oleh syara. Mulai dari menundukkan pandangan (ghadul bashar) bagi lelaki dan perempuan, larangan berkhalwat (berduaan dengan lelaki yang bukan mahram), tidak bercampur baur (ikhtilat), bahkan berpuasa apabila seorang laki-laki belum dapat memenuhi syarat untuk menikah. Sebab nikah adalah solusi bagi lawan jenis untuk bisa menyalurkan naluri berkasih sayangnya.
Perasaan berkasih sayang merupakan fitrah, yaitu naluri (gharizah nau) bagi manusia. Dengan salah satu tujuannya adalah memperoleh keturunan. Tidak melakukan pengekangan terhadap naluri tersebut namun menyalurkannya pada yang tepat lagi halal.
Bagaimana zina makin marak terjadi, salah satunya adalah hilangnya rasa malu pada diri, terutama pada wanita. Padahal menurut Ibnu Abbas mengatakan, “Rasa malu dan iman itu satu ikatan”. Jika dicabut salah satunya, maka akan diikuti oleh yang lain.
Apalagi saat ini menutup aurat dan menjaga diri dianggap bentuk pengekangan terhadap wanita, sedangkan berpakaian terbuka adalah bentuk kemodernan dan open minded. Terlebih dukungan feminis dengan slogannya “my body, my authority”. Semakin menenggelamkan rasa malu hingga hilang tanpa bekas.
Malu merupakan akhlak Islam. Malu dapat menjaga kita dari perbuatan maksiat. Ketika rasa malu telah tercerabut dalam diri, seseorang akan dengan mudahnya melakukan apapun yang dilarang oleh syara. Kemanakah hilangnya rasa malu yang mestinya kita jaga keberadaannya?
Mungkinkah kembalinya peradaban Islam yang mulia akan lahir padanya.
Remaja kita saat ini bahkan seluruh umat harus senantiasa menyibukkan diri dengan mempelajari agama agar semakin kuat karakter kepribadian sebagai seorang muslim. Menjalankan kehidupan dengan syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh. Sehingga benar-benar mengetahui dan mengerti seuruh hukum yang Allah Ta’ala tetapkan.
Jelaslah rasa malu merupakan hal yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Semoga Allah senantiasa memberikan kita pertolongan menjaga rasa malu.
Wallahu’alam bishowab.
*Lingkar Studi Muslimah Bali