KUPI: Moderasi Agama di Balik Diksi Ulama Perempuan
Oleh: Atik Hermawati
Lensa Media News – Pada 23-26 November 2022 lalu di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang dan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 telah diselenggarakan. Lima lembaga pengusung liberalisasi agama dan perjuangan gender yaitu Rahima, Fahmina, Alimat, AMAN Indonesia, dan Gusdurian, menjadi penggerak kongres tersebut.
KUPI merangkul berbagai latar belakang pendidikan, sosial, lintas negara, bahkan lintas iman/agama. Mereka menegaskan bahwa istilah ‘ulama perempuan’, ialah bukan ulama berjenis kelamin perempuan saja. Melainkan setiap orang yang berperspektif perempuan, bisa laki-laki atau perempuan. Kemudian istilah ‘ulama’ pun tidak hanya merujuk pada penguasaan ilmu agama (faqih fiddin), tetapi juga siapapun yang menguasai ilmu pengetahuan (apa saja) yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan kehidupan dalam arti luas. KUPI memandang isu-isu perempuan dengan perspektif gender, persamaan, musawah, mubadalah, moderat, dan liberal.
KUPI telah meluncurkan apa yang dikenal sebagai metodologi fatwa. Ada tiga pendekatan dalam mengeluarkan fatwa, yakni mubadalah (kesalingan), ma’ruf, dan keadilan hakiki perempuan. Pada KUPI-2 ini tajuk yang diambil ialah “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Membangun Peradaban yang Berkeadilan”. Adapun bahasan utamanya meliputi lima hal, yakni peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstremisme; pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan; perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan; perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; dan perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.
Sarat dengan Feminisme
Dari pemaknaan ‘ulama perempuan’ pun, sudah jelas bahwa KUPI tidak merepresentasikan sosok-sosok yang faqih fiddin. Padahal dalam Islam jelas bahwa ulama adalah sosok yang menguasai ilmu agama yang lurus dengan proses yang talqiyan fikriyan yang merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seorang ulama pun akan mengamalkan dan mendakwahkan Islam, bukan yang lainnya.
Isu-isu perempuan yang disoroti KUPI tak terlepas dari feminisme. Konsep mubadalah dan musawah menjadi ciri khas mereka. Dimana semua problematika perempuan diselesaikan dengan kacamata kesetaraan gender. Nas-nas syarak yang lebih ‘memihak laki-laki’ diutak-atik dengan qiro’ah mubadalah untuk me-rekontekstualisasi fikih Islam (hukum-hukum syarak).
Sehingga bukan Islam yang menjadi rujukan mereka, melainkan pandangan Barat. Dimana hal ini ditujukan untuk menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang sebenarnya. Melalui feminisme-nya, KUPI sejalan dengan moderasi agama yang dirancang oleh Barat.
Sikap Muslim Seharusnya
Sebagai seorang muslim kita harus jeli dan teliti. Jangan mudah tertipu dengan yang mengatasnamakan ‘ulama’ dan ikut terbawa arus opini mereka yang sejatinya semakin menjauhkan dari agama kita. Tugas kita ialah memahami Islam secara kaffah dengan sungguh-sungguh sebagaimana firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” Sehingga mampu membentengi dari pemikiran rusak yang ada, seperti moderasi agama saat ini.
Selain itu, ikut berjuang secara berjamaah untuk mendakwahkan Islam kaffah tersebut. Melawan opini sesat yang mengobrak-abrik ajaran Islam. Serta berjuang untuk menegakkan kembali institusi mulia yang akan menerapkan Islam total seperti Nabi saw. dan para sahabat contohkan, yakni Khilafah. Sebah hanya dengan Khilafah, Islam dan perempuan dijaga dan dimuliakan.
Problematika perempuan yang ada saat ini tak lain ialah akibat tidak diterapkannya sistem Islam secara kaffah dalam kehidupan. Kapitalisme telah merusak tatanan kehidupan, termasuk menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Perempuan dipandang dengan kacamata bisnis kapitalis, bukan sosok yang harus dimuliakan. Akibatnya kekerasan, penindasan, ketidakadilan, dan lainnya seolah tak ada habisnya menghampiri perempuan di negeri ini.
Wallahu a’lam bishshawab.
[LM/nr]