Hipokrisi Demokrasi
Oleh: Ratna Munjiah*
Pemilu telah dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 17 April 2019. Tercurah harapan besar dari seluruh rakyat Indonesia bahwa pemilu tahun 2019 ini akan membawa perubahan bagi bangsa. Pengharapan yang tidak sesuai dengan kenyataan, karena banyak masyarakat awam yang tidak paham bahwa di balik pemilu ini ada kekuatan asing yang ingin menguasai Indonesia.
Sebagaimana banyak data dari beberapa media menyebutkan bahwa untuk melaksanakan pemilu banyak aliran dana asing masuk ke Indonesia.
Jakarta, CNBC Indonesia – Perusahaan manajemen investasi PT. Bahana TCW Invesment Management memperkirakan hasil hitung cepat (quick count) Pemilihan Presiden (pilpres) 2019 akan membawa dampak positif ke pasar keuangan domestik.
Aliran dana asing ke pasar saham dan obligasi tahun ini bahkan diperkirakan bisa lebih dari US$ 6 miliar atau sekitar Rp 84,35 triliun, lebih besar dari 2018.
“Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang tetap dipercaya oleh asing meskipun sedang melaksanakan pemilu. Arus inflow pasar saham dan obligasi mencapai US$ 6 miliar, jauh lebih besar dari total inflow 2018.” Kata Chief Economist Bahana TCW Budi Hikmat dalam ulasan Post-Election Brief yang dipublikasikan, Kamis (18/04/2019).
Di sisi lain, manajer investasi asal Inggris, Ashmore, juga memprediksi total modal asing yang masuk ke pasar modal Indonesia tahun ini bisa mencapai US$ 1,5 miliar atau setara Rp 21,3 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Sejak awal tahun hingga saat ini, modal asing yang masuk sudah sampai US$ 1 miliar.
Estimasi tersebut didasarkan pada data historis yang menunjukkan tren arus masuk modal asing dengan rata-rata perolehan US$ 2,2 miliar sepanjang tahun penyelenggaraan pemilu. Lebih lanjut Ashmore juga mencatat bahwa pemilu Indonesia adalah satu-satunya pemilu yang mendapatkan sentimen positif untuk arus masuk asing dan rekomendasi beli (overweight).
Wow, sebuah nilai yang fantastis ya. Masuknya dana asing tersebut tentu bukan tanpa maksud. Banyak hal yang patut diwaspadai. Karena sejatinya dana tersebut semakin memperkokoh bagaimana asing akan menguasai Indonesia. Salah satunya yakni investor asing semakin aktif dalam kancah pasar saham dengan demikian perekonomian Indonesia tentu akan berada di bawah kendali Asing.
Hingga saat ini demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik yang mampu mengantarkan rakyat pada kesejahteraan, bahkan terlalu mengagungkan demokrasi, padahal dalam demokrasi kepemimpinan ini diperebutkan hanya untuk melanjutkan kerusakan sistem sekuler. Bagai tersihir rakyat tak menyadari bahwa kondisi Indonesia saat ini berada dalam posisi darurat dikuasai asing.
Rakyat tidak paham bahwa demokrasi hanya akan berpihak pada penguasa yang akan melanggengkan penjajahan sistematisnya dalam segala aspek (Politik, ekonomi maupun sosbud). Hipokrit demokrasi itu karena jargon ‘dari-oleh-untuk rakyat’ tidak pernah benar-benar terbukti. Padahal yang dipakai uang rakyat, tenaga rakyat, tapi pemilu hanya sebagai sarana bagi korporasi untuk menguasai rakyat.
Sesungguhnya demokrasi bukan hanya sekedar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup (the way of life) yang holistik, yang dipresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut peradaban Barat.
Demokrasi adalah sebuah tipe sistem pemerintahan, sistem yang memiliki beberapa ciri: Pertama, berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Kedua, dibuat oleh manusia. ketiga, didasarkan pada ide-ide pokok, yaitu (1) Kedaulatan di tangan rakyat dan (2) Rakyat sebagai sumber kekuasaan, memegang prinsip suara mayoritas dan menuntut kebebasan individu (freedom) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan. Demokrasi tidak akan mengizinkan selain rakyat untuk berdaulat.
Dalam demokrasi Allah SWT boleh disembah namun Allah SWT tidak diijinkan untuk berdaulat. Hukum Allah boleh dipakai jika pemilik kebijakan mengijinkan dan itu pun harus disetujui satu hukum per satu hukum. Jika ada satu hukum yang tidak disetujui oleh rakyat, maka hukum Allah tersebut tidak bisa dilaksanakan, meskipun itu sesuatu yang qoth’i (pasti), misalnya haramnya minum khamr, atau haramnya zina.
Berbeda halnya dalam Islam, menurut akidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT bukan manusia (QS. al-An’am [6]: 57). Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dalam Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah sebuah kekufuran (QS. al-Ma’idah [5]: 44) Ketetapan ini didasarkaan pada dalil-dalil yang qath’i (pasti).
Melalui demokrasi, hawa nafsu manusia senantiasa mendapatkan salurannya dan pembenarannya. Bagaimana bisa membangun masyarakat bertakwa ketika negara menyerahkan ketakwaan hanya menjadi persoalan individual. Saat kebenaran dan kebatilan dibiarkan bertarung secara bebas, maka individu-individu akan semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Sudah seharusnya sistem sesat ini dibuang dari negeri kita dan beralih kepada sistem Islam. Wallahu a’lam. [RA/WuD]
*Pemerhati Sosial Masyarakat