Demokrasi Menyuburkan Politik Uang
Oleh: Ummu Zayta
LensaMediaNews- Seorang tokoh parpol yang terkenal lurus, cerdas, dan idealis, pada akhirnya mencak-mencak karena gagal meraih kursi di Senayan. Dia dikalahkan oleh juniornya sendiri, seorang anak kemarin sore yang bahkan turun kampanye pun sangat jarang. Efektivitas kampanye caleg berbasis pendidikan politik ternyata loyo menghadapi kekuatan uang (DetikNews.com 16/4/19).
Dalam kesempatan wawancara dengan program ‘Aiman’ Kompas TV, Profesor Hamdi Muluk mengungkapkan, hanya dengan politik uang seorang caleg bisa menembus kontestasi dan menjadi pemenang (kompas.com 15/4/19).
Bagaimana tidak, dari banyaknya jumlah caleg tentu tidak akan semua bisa dikenal oleh masyarakat, sehingga cara membagi bagikan “sesuatu”, cukup efektif menarik simpati masyarakat. Belum lagi pernyataan dari pengamat politik pemerintahan DPP (Direktorat Pendidikan dan Pengajaran) UGM, Dr. Mada Sukmadjati, menurutnya praktik jual beli suara tidak mengenal gender dan usia. Namun, yang sangat mempengaruhi yakni pendidikan dan pendapatan pemilih. Pemilih tidak sekolah, pemilih yang hanya tamatan pendidikan dasar atau menengah cenderung menerima uang atau barang dari caleg atau capres. Sementara yang berpendidikan tinggi akan diiming-imingi berbagai fasilitas yang mereka butuhkan (www.ugm.ac.id 15/4/19).
Maka tidak heran jika calon legislatif atau calon eksekutif adalah orang kaya yang memiliki pundi pundi rupiah yang besar. Padahal politik uang yang lahir dari sistem demokrasi yang bobrok, hanya memikirkan bagaimana caranya balik modal. Hal ini terlihat ketika caleg atau capres terpilih, maka ia akan menghitung berapa uang yang sudah ia keluarkan dan bagaimana cara mengembalikannya. Tak heran bila jabatan adalah sarana untuk mengejar setoran. Mereka sikat kanan-kiri, menerima suap dari mana saja, dengan tujuan agar uang yang sudah dikeluarkan bisa kembali.
Akhirnya, mekanisme ini menciptakan kualitas pemimpin dan wakil rakyat yang rendah. Kebijakan atau undang-undang yang seharusnya memikirkan aspirasi masyarakat kini hanya memikirkan aspirasi pemodal. Kebijakan juga mengikuti kemauan penguasa sekalipun itu harus menyakiti rakyatnya sendiri.
Selain itu, politik uang dapat memberi peluang untuk melakukan kecurangan bersama. Tanpa sadar bahwa dengan cara ini, penguasa telah mengajarkan tradisi rusak pada rakyat bahwa kecurangan adalah hal biasa. Hal ini karena politik uang adalah politik yang lahir dari sistem demokrasi yang bobrok dan rusak. Demokrasi yang dianut negeri ini adalah sebuah sistem yang menjunjung tinggi nilai kebebasan. Permainan politik uang untuk meraih kekuasaan adalah hal biasa. Meskipun telah dibentuk banyak lembaga yang berfungsi memberantas masalah kecurangan, nyatanya tidak mampu menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas. Tentunya hal ini juga melanggar Konstitusi dan Pancasila yang selalu dijunjung tinggi di negeri ini.
Berbeda dengan politik dalam Islam, yang dibangun berdasarkan sikap takwa. Kekuasaan digunakan untuk mengurusi urusan umat berlandaskan pada syariat Allah. Maka sikap takwa penguasa sangat menentukan. Hakikat politik Islam adalah politik takwa. Jabatan atau kekuasaan amanah dari Allah, harus diatur berdasarkan hukum Allah. Pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.
Maka sudah seharusnya umat percaya, bahwa sistem Islam menjadi alternatif yang akan mengeluarkan mereka dari kebobrokan yang ada. Sejatinya umat bersama ikut memperjuangkan tegaknya aturan Allah dalam bingkai Kekhilafahan Islamiyah. Karena Islam bukan hanya sekedar agama melainkan ideologi yang mengatur semua aspek kehidupan.
Wallahu’alam bishowab.
[LNR]