HAM dan Sisi Ambiguitasnya

Oleh: Fitri Ayu F.

(Pecinta Literasi Makassar)

 

LensaMediaNews- Hak Asasi Manusia (HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional (Wikipedia, 2019). Dalam hal ini, HAM menjamin hak-hak kemanusiaan untuk hidup tanpa tindakan diskriminasi apalagi penyiksaan terhadap kelompok tertentu.

HAM juga dijadikan sarana dalam mencapai tujuan utama didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana dikutip dari Wikipedia (2019) bahwa salah satu tujuan utama PBB yaitu memajukan dan mendorong hubungan persaudaraan antarbangsa melalui penghormatan HAM. Namun, kenyataannya hari ini, PBB sebagai pemegang tampuk perdamaian di kancah dunia seolah menyembunyikan kuku-kuku tajamnya bagi para pelanggar HAM.

HAM seolah memiliki dua sisi yang berlawanan. Misalnya dapat kita lihat konflik Palestina-Israel yang tidak putus-putus dan masalah pengekangan Uyghur di China dan Rohingya. Semua permasalahan tersebut berkaitan dengan HAM yang sudah seharusnya dibela habis-habisan. Tetapi, tidak ada upaya berarti untuk mewujudkan perdamaian tersebut, selain hanya kecaman-kecaman yang tidak memberikan pengaruh apapun.

Apakah dicetuskannya HAM pada tahun 1948 mengatasi konflik Palestina-Israel? Tidak. Justru wilayah Palestina semakin berkurang dan darah kaum muslimin terus mengalir. Bahkan awal Ramadhan tahun ini, Palestina dibombardir hingga menewaskan 19 warga Palestina termasuk seorang ibu hamil dan bayi berumur 4 bulan (detik.com, 2019). Apakah dicabutnya penghargaan HAM pada Aung San Suu Kyi menyelesaikan permasalahan di Rohingya? Tidak. Bahkan baru-baru ini kembali terjadi pembakaran massal rumah-rumah milik penduduk Rohingya. Dan apa yang diserukan dunia ketika Uyghur dikekang dalam beribadah? Tidak ada. Tiba-tiba media dunia menjadi autis ketika Uyghur terkekang.

Di sinilah letak sisi ambiguitasnya. Ketika Brunei Darussalam menetapkan peraturan syariah Islam di negaranya yaitu hukuman rajam bagi pelaku LGBT, justru ditentang keras atas nama HAM. Sedangkan perang yang justru telah berlangsung puluhan tahun tidak pernah terselesaikan, padahal sudah jelas pelanggaran HAM di Palestina, Uyghur dan Rohingya tidak bisa ditolerir lagi. Maka, sebenarnya kinerja penerapan HAM dari badan internasional yang memiliki misi perdamaian dunia ini patut dipertanyakan. Mengapa HAM dijadikan senjata menyerang aturan syariah Islam dan di saat bersamaan membiarkan pelanggaran HAM merajalela pada wilayah penduduk muslimin?

 

Sikap Indonesia terhadap HAM

“Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”

Begitu penggalan teks pembukaan UUD 1945. Kalimat ini seolah hanya menjadi slogan semata. Jika mengacu pada kalimat di atas, maka seharusnya Indonesia telah mengambil sikap sebagai negara yang memiliki prinsip tinggi tanpa menunggu keputusan lembaga internasional yang jelas-jelas telah menutup mata dan telinga terhadap persoalan kemanusiaan di atas dunia ini. Tapi nyatanya tidak demikian.

Justru dengan dalih nasionalisme yang terlalu tinggi menjadi salah satu halangan membela saudara kita di luar sana. Seperti pernyataan wakil presiden, Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan persoalan dalam negeri China, Indonesia tidak boleh ikut campur di dalamnya (republika.co.id, 2018).

HAM dianggap memegang neraca kestabilan perdamaian di atas dunia ini. Tetapi, sadarkah kita bahwa HAM sebenarnya begitu tumpul terhadap kaum muslimin?

 

HAM dalam Islam?

Jauh sebelum HAM dicetuskan, Islam telah mengenalkan betapa indahnya ukhuwah tanpa diskriminasi. Salman al-Farisi, seorang pengembara dari Persia memiliki suara yang sama dengan penduduk Madinah dalam mengajukan pendapat. Lihatlah bagaimana kiprahnya dalam perang Khandaq. Bahkan Rasulullah saw mengatakan bahwa Salman al-Farisi adalah ahlul baitnya. Bilal bin Rabah, bekas budak berkulit hitam, bukankah dia memiliki kedudukan mulia yang tidak dimiliki oleh sahabat nabi lainnya; menjadi muazin pertama kaum muslimin?

Bagaimana perlakuan kaum muslimin terhadap orang-orang kafir? Jangan ditanya mengenai hal ini. Rasulullah saw sendiri yang bersabda bahwa barangsiapa yang menyakiti ahlu dzimmi (orang kafir yang berada dalam perlindungan negara islam), maka ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya, dan orang itu akan berhadapan langsung dengan Rasulullah saw nanti di hari akhir.

Fakta di atas menunjukkan bahwa sejatinya HAM telah mementingkan satu kelompok dan membiarkan kelompok tertentu dirampas hak-hak kemanusiaannya. Sedangkan Islam memberikan teori dan contoh konkrit hingga sejarah membuktikan bahwa ahlu dzimmi lebih memilih tinggal dalam naungan daulah Islamiyah dibanding harus tinggal dalam wilayah non muslim. Dengan keluarbiasaan sistem Islam ini, apa lagi yang membuat kita menolaknya? Bukankah Islam rahmat bagi seluruh alam?

Wallahu a’lam bishshawwab.

[LNR]

Please follow and like us:

Tentang Penulis