KLA Jadi Prioritas, Apa Kabar Realitas?

Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Kota Layak Anak (KLA) kini sedang naik daun. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi hasil Konvensi Hak-hak Anak yang digagas oleh PBB, wajar bila KLA jadi prioritas bagi tiap kota di negeri ini untuk mewujudkannya. Bahkan sudah ada payung hukumnya yaitu Peraturan Menteri (Permen) No. 11 Tahun 2011. Di dalamnya memuat serba-serbi KLA mulai dari definisi, tujuan, hingga penerapannya.
Secara normatif, KLA memang datang membawa sejuta harapan akan cerahnya masa depan anak-anak bangsa. Tengok saja, sejak awal KLA dimaksudkan untuk menjadikan sebuah kota memiliki orientasi pembangunan yang berbasis pemenuhan hak dan perlindungan anak. Setidaknya terdapat 6 indikator kelayakan sebuah kota/kabupaten untuk anak, yaitu cerdas, sehat, aman dari bencana, hijau, inklusif, dan peduli HAM. (kemenpppa.go.id)
Sekilas, tak ada yang janggal dari poin-poin di atas. Bahkan kita bisa langsung membayangkan alangkah indahnya dunia bila keseluruhannya bisa tercapai. Namun sayang sungguh disayang, realitas yang ada tak seindah konsep yang digagas. Bukannya hak  terpenuhi, justru banyak kasus anak yang dieksploitasi. Begitu pula tak sedikit yang jadi sasaran kekerasan karena emosi dan syahwat tak terkendali.
Mengutip laman daring berita lokal, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, mencatat  kekerasan terhadap anak selama pandemi Covid-19 per Juli 2021  sebanyak 16 kasus. Dari angka tersebut jenis kasusnya didominasi tindak kekerasan seksual. (sultraantaranews, 27/07/2021)
Terbaru, remaja 12 tahun diketahui positif HIV dikarenakan rudapaksa selama bertahun-tahun oleh kerabat dan orang-orang di sekitarnya. (kompas.com, 19/04/2022)
Memilukan. Padahal apa yang tersurat di atas, tak mustahil baru sebatas fenomena gunung es. Bisa jadi masih lebih banyak lagi yang belum terkuak. Perilaku kriminal, penyalahgunaan narkoba, gaul bebas, rudapaksa, bullying dan sebagainya, tentu termasuk pula dalam deretan situasi yang melanggar privilege anak untuk menjalani hidup dengan ceria dan menyenangkan.
Selain itu jika ditilik lebih jauh, beberapa poin layak dikritisi dari konsep KLA. Terutama mengenai penekanan nilai HAM dan kesetaraan gender. Dua nilai yang jadi blunder ketika ditanamkan di tengah penduduk negeri yang mayoritasnya muslim. Apa pasalnya? Jawabnya sudah tentu karena secara konseptual, HAM dan kesetaraan gender bertentangan dengan Islam.
Tertulis pada pasal 6 Permen No. 11/2011, bahwa kebijakan pengembangan KLA diarahkan pada pemenuhan lima hak anak. Salah satunya adalah hak sipil dan kebebasan termasuk dalam hal beragama. Sementara Islam justru menolak mentah-mentah konsep kebebasan beragama bagi seorang yang nyata-nyata terlahir muslim.
Maklum kiranya, mengapa KLA gencar dicanangkan namun tindak kekerasan pada anak dan segala turunannya juga kian masif dan simultan. Bagaimana tidak demikian, agama yang harusnya jadi fondasi pembentukan karakter malah dijauhkan dari benak anak. Kalaupun disinggung, sebatas perkara individu seperti salat, puasa, berdoa, makan, dan minum saja. Hingga sampai di satu titik, aturan agama (baca: syariat Islam) tak lagi dipandang mampu menyelesaikan problematika yang ada, lalu diasingkan dari kehidupan. Hal inilah yang dinamakan sekularisme.
Parah nian. Alih-alih mengantarkan sebuah kota menjadi ramah anak, sekularisme justru mendorong lahirnya generasi “Awkarin,” yang hidup bebas sekehendaknya. Hal yang sama juga memicu rusaknya tatanan keluarga, degradasi adab, lemahnya keimanan, hingga pengabaian terhadap syariat yang datangnya dari Allah SWT. Tidak luput pula perbuatan melecehkan  agama yang kian hari kian menggejala.
Karena itu, amat menggelikan bila umat muslim masih bertahan dengan sekularisme yang tidak membawa kebaikan apa pun selain hanya kerusakan demi kerusakan tiada henti. Saatnya kembali menoleh pada Islam, yang bila diterapkan kafah niscaya menjadi rahmat bagi seluruh alam termasuk untuk seluruh manusia di dalamnya. Sebab Islam adalah solusi. Tidak hanya dalam problem pribadi dan keluarga, tapi juga masyarakat hingga negara.
Terkait persoalan anak misalnya, Islam menyoroti hal itu tak berdiri sendiri. Butuh kerja sama yang sinergis antara keluarga yang menjadi basis karakter anak, publik yang setia mengontrol dan mengawasi, serta peran negara. Dalam hal ini pemerintah yang menerapkan syariah kafah beserta sanksi yang tegas di dalamnya, guna melindungi anak dari segala bentuk ancaman, gangguan, maupun bentuk kekerasan lainnya.
Di antara ketiga pihak di atas, tentu negara yang punya peran terbesar dalam memenuhi dan melindungi hak anak. Jika penguasa menjalankan amanahnya sebagaimana yang disyariatkan Allah SWT, niscaya sanggup mewujudkan kota yang tidak hanya ramah terhadap anak. Tapi juga pada ayah, ibu, dan semua manusia tanpa memandang suku, ras, atau agamanya sekalipun. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al -Anbiya: 107)
Melalui ayat ini Allah SWT menyampaikan bahwa Dia menjadikan Muhammad saw. sebagai rahmat yang dihadiahkan buat semesta alam. Maka barang siapa yang menerima rahmat ini dan mensyukurinya, berbahagialah ia di dunia hingga di akhirat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir)
Wallahu a’lam.
[LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis