Jawaban atas Kontroversi People Power
Oleh: Nina Marlina*
People power kian ramai diperbincangkan. Dilansir dari tempo.co (25/04/2019), wacana people power sebelumnya dicetuskan politikus Partai Amanat Nasional, Amien Rais. Ia mengatakan akan mengerahkan massa atau people power untuk turun ke jalan jika mereka menemukan kecurangan dalam pilpres 2019.
Amien menuturkan, dia memilih menggerakkan people power ketimbang menggugat hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini menyatakan tak percaya dengan MK. Selain itu, Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya bakal melakukan pemeriksaan terhadap caleg PAN, Eggi Sudjana, terkait laporan dugaan kasus makar dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Eggi dilaporkan oleh politikus PDIP Dewi Ambarwati Tanjung, setelah berpidato yang membahas seruan people power pada Rabu, (17/4/2019) lalu. Dewi menilai pernyataan itu merugikan dan bisa memecah belah bangsa Indonesia.
People Power merupakan sebuah demonstrasi massal tanpa kekerasan yang terjadi di Filipina pada 1986. Aksi damai yang berlangsung selama empat hari dilakukan jutaan rakyat Filipina di Metro Manila dengan tujuan untuk mengakhiri rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos dan pengangkatan Corazon Aquino sebagai presiden.
Aksi people power ini memang telah terjadi di banyak negara. Diantaranya Gerakan Mahasiswa (1968/1972) di Eropa Barat, gerakan anti rezim militer Thailand (1973), EDSA revolution Filipina (1986) di Cekoslowakia, hingga runtuhnya Tembok Berlin (1989).
Berkaitan dengan people power ini, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo menilai sebutan people power tidak tepat jika terjadi gerakan massa yang kecewa dengan hasil pemilihan umum. Karyono menjelaskan, terjadinya people power harus memenuhi sejumlah prasyarat jika merujuk pada teori sosial, di antaranya ada faktor obyektif dan subyektif.
Faktor obyektif yaitu jika terjadi kesenjangan kemiskinan yang begitu lebar, pembungkaman kebebasan berpendapat, pemerintahan yang korup, dan otoriter. “Itu pun masih belum cukup. Kadang-kadang ditambah lagi faktor eksternal, adanya kondisi krisis ekonomi,” katanya. Faktor obyektif itu, kata Karyono, akan bertemu faktor subyektif, yaitu adanya aktor-aktor yang dipercaya masyarakat untuk melakukan perubahan (tempo.co, 25/04/2019).
Tentu Islam punya solusi untuk menuntaskan ketidakpuasan dalam pemerintahan saat ini. Sistem demokrasi terbukti tak mampu memberikan pemimpin yang jujur dan amanah. Sistem ini telah nyata membuat pemimpin dan bawahannya berbuat curang. Namun, Islam pun tentu tidak sepakat dengan ide dan aksi people power.
Sebagai umat Rasulullah Saw, kita dituntun untuk melakukan perubahan sistem sesuai metode yang dicontohkannya. Rasulullah Saw telah mendirikan negara Islam di Madinah. Setelah beliau wafat, kepemimpinannya digantikan oleh Khalifah Abu Bakar, yang kemudian berturut-turut dilanjutkan oleh khalifah lain.
Sistem khilafah pun terus berlanjut hingga berlangsung selama 13 abad. Untuk mewujudkan hal tersebut tentu Rasulullah Saw dan para sahabat telah melakukan upaya dakwah terlebih dahulu. Adapun metode dakwahnya yakni dengan membentuk dan bergabung ke dalam partai politik yang memiliki fikrah dan thariqah yang shahih.
Aktifitas politiknya yang pertama yaitu membina para anggotanya dengan pemikiran-pemikiran Islam. Juga membina mereka dengan pemahaman yang kuat akan Islam dan keimanan yang kokoh untuk mengemban tanggung jawab dakwah. Kedua, berinteraksi dengan umat. Aktifitasnya dengan menentang segala ide-ide kufur yang bertentangan dengan aqidah Islam, menasehati penguasa, serta membongkar rencana jahat kaum kafir.
Hal ini dapat dilakukan dengan diskusi atau seminar, tanpa adanya kekerasan sedikit pun. Aktifitas ini akan menimbulkan opini umum di tengah-tengah masyarakat yang muncul dari kesadaran mereka. Ketiga, thalab an-Nushrah (meminta dukungan untuk menegakkan sistem Khilafah) kepada ahlul quwwah (pemilik kekuatan) seperti militer dan polisi.
Akhirnya terjadilah penyerahan kekuasaan untuk menegakkan khilafah dan syariah Islam setelah mendapatkan dukungan dari umat dan ahlul quwwah. Wallahu a’lam. [RA/WuD]
*Komunitas Pena Islam