Maraknya Seni Merusak, Buah dari Sistem Kapitalisme
Oleh: Sri Retno Ningrum
LensaMediaNews- Seni merupakan produk perilaku manusia yang khusus. Ide yang kreatif untuk membantu kita menerangkan, memahami dan menikmati hidup. Misalnya, seorang penari yang sedang menari. Ia menghasilkan perilaku yang khusus berupa tarian. Lewat tarian itulah terbentuk sebuah seni.
Tanggal 18 april 2019 lalu, jagad media sosial ramai dengan perbincangan film “Kucumbu Tubuh Indahku”. Film yang disutradarai Garin Nugroho ini, sekalipun mendapatkan penghargaan di kancah internasional, tapi menuai kontroversi di dalam negeri. Pasalnya, film tersebut bisa mempengaruhi cara pandang dan perilaku generasi muda. Sebab, pesan-pesan yang dimasukkan dalam film tersebut bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Salah satu kecaman terhadap film tersebut berasal dari Wali Kota Depok, Mohammad Idris. Beliau menuliskan surat kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan nomor 460/185-Huk/DPA PMK tertanggal 24 april 2019. Beliau menyampaikan keberatannya atas penayangan film itu dan melarang film tersebut ditayangkan diwilayahnya.
Kecaman lain yang kurang lebih isinya sama, berasal dari Bupati Kubu Raya. “Saya coba (lihat) trailer film itu dan coba lihat sekilas, ya cukup menurut saya tidak patut. Cukup membahayakan dampaknya, buat khawatir seolah-olah dimaklumi”, ujar Muda Mahendrawan (Tirto.id, 27/04/2019).
Kecaman-kecaman atas film tersebut rupanya sangat disayangkan oleh Garin Nugroho. Pasalnya, film tersebut telah diakui kualitasnya di dunia. Selain memenangkan Asia Pasific Screen Award, dan menjadi film terbaik Festival Des 3 Continents Nantes 2018, film ini juga mengikuti seleksi Festival Film Internasional di Venesia.
Hal serupa juga disayangkan oleh Ifa, sang produser dari film ini. Dirinya mengatakan tidak berniat untuk menelurkan film kontroversial. Sebab kata dia, film ini tidak secara khusus mengangkat isu LGBT tapi mengupas manusia dan kemanusiaan. “Yang paling penting, tahu betul apa alasan kita mengumpulkan film seperti ini, bahwa yang kita omongin ya manusia itu sendiri, ini yang justru kalau misalnya film ini ditonton seharusnya tidak ada kekhawatiran sama sekali”, ujar Ifa, di Jakarta. (tirto.id, Selasa 16/04/2019)
Adapun isi dari film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ sendiri mengisahkan tentang perjalanan penari lenggar lanang di sebuah desa kecil di Jawa. Sebuah perjalanan tubuh yang membawa Juno menemukan keindahan tubuhnya. Lenggar lanang merupakan salah satu seni tari asal Banyumas yang terancam punah akibat sentimen negatif terhadap LGBT. Tarian ini sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit dan merupakan bagian dari ritus kesuburan. Pada tarian ini, penari lenggar merupakan laki-laki yang berdandan perempuan (tirto.id 27/04/2019).
Terlepas bahwa tarian ini sudah ada sejak masa Majapahit, sungguh, tarian tersebut nyatanya menampilkan sosok laki-laki yang berdandan menyerupai wanita. Jelas, perbuatan ‘menyerupai’ tersebut merupakan perbuatan yang dilaknat oleh Allah SWT. Ditambah lagi, dengan kenyataan adanya penyimpangan orientasi seksual sejenis, sebagaimana yang dikerjakan oleh kaum Nabi Luth. Allah menjelaskan pada firmanNya di Al-Quran surat Al-A’raf ayat 80 yang artinya: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala Dia bertanya kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”
Apa yang divisualisasikan dalam film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ merupakan bentuk ekpresi yang keliru. Kekeliruan ini berasal dari tsaqafah sistem kapitalis sekuler yang telah berhasil ditanamkan ke dalam akal dan pikiran manusia. Penyimpangan orientasi seksual yang seharusnya diluruskan, malah dilestarikan. Atas nama HAM (Hak Asasi Manusia), manusia mendapatkan kebebasan untuk berekspresi, sekalipun ekspresinya salah. Terlebih lagi, ketika agama tidak dijadikan standar kehidupan. Akhirnya, manusia mengandalkan akalnya yang terbatas untuk menentukan standar kebenaran, lalu menafikan halal-haram. Padahal sebagai seorang Muslim, sudah seharusnya kita berpedoman pada Al Qur’an dan As Sunah.
Jika kapitalisme sekuler menjadikan seni sebagai alat untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, maka berbeda halnya dengan Islam. Islam memandang seni sebagai salah satu sarana dakwah. Melalui sejarah, dapat kita ketahui bahwa Sunan Kalijaga/ Raden Said melakukan dakwah lewat kesenian yaitu wayang kulit. Ini menjadi bukti bahwa Islam tidaklah anti terhadap seni.
Dakwah Sunan Kalijaga lewat wayang kulit berhasil membumikan Islam dan diterima oleh masyarakat Jawa. Padahal sejatinya, Sunan Kalijaga adalah salah seorang wali dari 9 wali yang diutus oleh kekhilafahan Turki untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Apa yang dilakukan oleh para walisongo tersebut merupakan bentuk dakwah yang dilakukan secara berjamaah dibawah perintah seorang khalifah. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama bergabung dengan jamaah dakwah yang senantiasa menyebarkan Islam, sesuai dengan kemampuan dan kreativitas kita baik dakwah secara lisan dan tulisan atau dengan menggunakan uslub seni.
Wallahu’alam bisshowab.
[LNR]