Drama “Matikan Mikrofon”, Demokrasi Bukan Milik Oposisi
Oleh: Nurhayati, S.S.T. (Pemerhati Kebijakan Publik)
LenSa Media News – Belum genap setahun peristiwa mematikan mikrofon, kini Ketua DPR RI Puan Maharani kembali mengundang kontroversi. Politisi PDIP itu lagi-lagi mematikan mikrofon dalam sidang paripurna. Kejadian tersebut terjadi pada Selasa (24/5/2022). Saat itu, anggota DPR RI Fraksi PKS Amin Ak tengah menyampaikan interupsi dan menyinggung ihwal penting. Amin mempersoalkan kekosongan hukum dan ketiadaan pengaturan mengenai LGBT dalam KUHP. Fraksi PKS itu menyampaikan perihal tindakan yang harus diperhatikan ketika ada konten Youtube yang menyiarkan pasangan LGBT yang beberapa waktu lalu sempat viral.
Aksi matikan mikrofon ini ternyata bukan hanya sekali terjadi, selama Puan menjabat Ketua DPR RI selama masa kerja 2019-2024 terhitung tiga kali mematikan mikrofon selama jajak pendapat dalam persidangan. Kali pertama terjadi saat pembahasan tentang UU Cipta Kerja 2020. Di tahun berikutnya kembali kejadian serupa berulang saat Puan memimpin rapat dengan agenda persetujuan Jenderal TNI, Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, pada November 2021 yang lalu. Saat itu Anggota Komisi X dari Fraksi PKS, Fahmi Alaydroes mengajukan interupsi dan memohon agar Puan tidak menutup rapat dan memberinya waktu sebentar (menit.co.id, 26/5/2022).
Demokrasi dan Parodi Beda Pendapat
Fakta diatas sungguh kontradiktif dengan kebebasan yang dijamin dalam sistem demokrasi salah satunya adalah kebebasan berpendapat. Maka wajar dalam sidang yang beranggotakan masing-masing perwakilan partai sudah tentulah memiliki pandangan yang berbeda. Justru perbedaan pendapat lah yang menjadikan dalam sidang itu harus dibahas untuk dicari penyelesaiannya dengan jalan terbaik, termasuk mempertimbangkan aspek kemaslahatan rakyat secara luas, bukan saja membawa kepentingan partai masing-masing.
Dari kejadian ini justru patut kita pertanyakan benarkah demokrasi menjamin kebebasan berpendapat? Karena kenyataannya tidak demikian ketika yang melakukan interupsi dari partai yang berbeda justru tidak ditanggapi malah ditutup secara sepihak oleh pimpinan sidang. Jelas ini sungguh tidak beradab!
Seperti sempat dikatakan oleh anggota Fraksi PKS saat melakukan interupsi, “Menghilangkan hak-hak rakyat kecil. Kalau mau dihargai tolong ha ….” (Makassar.tribunews, 16/5/2022).
Logika absurd perihal kebebasan berpendapat ala demokrasi sungguh tidak jelas. Jika yang berbicara berasal dari rekan koalisinya, kesempatan itu cenderung dianggap sebagai hak individu menyampaikan pendapat. Sebaliknya, jika yang melakukan kritik konstruktif merupakan pihak yang memiliki pandangan yang berbeda maka akan ditolak dengan berbagai macam alasan seperti yang menjadi alasan Puan bahwa rapat harus diakhir karena sudah berjalan selama tiga jam.
Meski demikian, posisi oposisi dalam demokrasi tidak permanen. Bisa saja berpindah sesuai pihak yang berkepentingan. Hari ini mungkin berseberangan, besok bisa saja jadi kawan. Dalam sistem demokrasi hari ini tidak ada yang bersifat tetap termasuk lawan koalisi saat ini. Hari ini bisa saja saling mendukung tidak menutup kemungkinan nanti akan bertolak belakang. Tidak ada teman atau lawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan hakiki.
Islam Tidak Anti Pendapat
Jika dalam sistem demokrasi yang menjadi tolak ukurnya adalah bagaimana aturan yang dibuat bukan berdasarkan maslahat untuk syariat dan rakyat melainkan kepentingan yang mengikat antar sesama para pembuat hukum. Yang boleh membuat aturan atau yang berpendapat adalah yang hanya duduk dikursi kekuasaan saja baik itu eksekutif maupun legislatif.
Dalam Islam, rakyat boleh melakukan kritik kepada penguasa bahkan rakyat biasa pun bisa mengajukan keberatan atas aturan yang tidak memihak kepada rakyat terlebih jika aturan tersebut tidak memperhatikan aspek syariat.
Sebagaimana dahulu ada seorang wanita Muslim yang mendatangi Khalifah Umar Bin Khathab setelah beliau menyampaikan ketentuan terkait uang mahar. Peristiwa tersebut terekam dalam kitab tafsir Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur karya Syekh Jalaluddin as-Suyuthi.
Mengejutkan, respons Khalifah Umar ketika diingatkan oleh perempuan dengan membacakan QS An-Nisa: 20, “Kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar). Oleh karena itu, janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun.” Khalifah Umar langsung beristigfar lalu berkata, “Wanita itu benar dan Umar yang salah.”
Dari kisah tersebut, kita dapat mengambil dua teladan kepemimpinan. Pertama, seorang pemimpin berkenan mendengar interupsi sampai selesai. Kedua, ia berlapang dada menerima kritik tersebut karena standarnya adalah syariat, bukan hawa nafsu.
Dengan demikian, sudah seharusnya seorang pemimpin bersikap terbuka terhadap pendapat yang memang dalam rangka kebaikan dan menegakkan hak-hak Allah dimuka bumi ini. Asalkan standarnya syariat, semua interupsi dianggap dalam perbaikan persoalan umat. Wallahu ‘alam bishowab. (RA)