Kerangkeng Manusia dan Bentuk Lemahnya Hukum
Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
(Aktivis)
Lensamedianews.com– Negeri yang katanya negeri hukum ini, tak pernah lepas dari berbagai masalah kriminal. Hukum yang ada pada saat ini bagai pedang bermata dua. Di kala yang menghadapi kasus adalah rakyat kecil, maka pedang itu akan menajam dan menebasnya tanpa pandang bulu. Berbeda lagi ketika yang terjerat adalah orang-orang penting dan orang yang memiliki jabatan, maka pedang itu akan menumpul dan menyesuaikan diri dengan apa yang dibutuhkan oleh pihak yang bermain.
Sungguh tak adil hukum yang ada saat ini. Keberpihakan terjadi bagi orang-orang yang memiliki kepentingan dan kekuasaan. Dengan mengadopsi asas kapitalisme, membuat rasa kemanusiaan itu tersingkirkan dengan egoisme individu semata. Entah itu melanggar aturan yang mereka buat sendiri ataukah aturan yang langsung dari Penciptanya.
Baru-baru inipun kita dikejutkan dengan berita terkait kerangkeng manusia yang ada di rumah bupati Langkat, yang disebut-sebut sebagai tempat rehabilitasi narkoba dan dibuat secara pribadi. Namun BNN memastikan bahwa kerangkeng tersebut bukanlah tempat rehabilitasi. Sebagaimana dikutip dari Detiknews bahwa, “Pusat menyatakan bahwa kerangkeng itu bukan tempat rehab, kenapa kita nyatakan bukan tempat rehab, rehab itu ada namanya persyaratan materiel dan formil,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Brigjen Sulistyo Pudjo Hartono saat dihubungi, Rabu (25/01/2022).
Ada beberapa persyaratan sehingga tempat tersebut dapat dikatakan tempat rehabilitasi yakni syarat formil dan syarat materiel. Adapun syarat formil yang harus dipenuhi seperti izin lokasi, izin mendirikan bangunan, dan izin operasional yang dikeluarkan oleh dinas. Selain itu, syarat materiel misalnya harus ada lokasi, harus ada program rehabilitasi seperti 3 bulan, 4 bulan, 6 bulan, tergantung jenis narkoba yang digunakan, apakah sabu, ganja, dan sebagainya. Kemudian, syarat materiel lainnya misalnya berapa jumlah dokter jiwa, psikiater, dokter umum, pelayanannya, dan kelayakan ruangan.
Kerangkeng manusia ini tidak memenuhi syarat sebagai tempat rehabilitasi. Sebab tidak ada program rehabilitasi yang mengharuskan orang untuk bekerja di kebun sawit. Terlebih ditemukan adanya tindak kekerasan yang terjadi, bahkan berujung pada kematian terhadap penghuni kerangkeng manusia tersebut.
Pun ironisnya, terdapat aktivitas yang melanggar HAM selama bertahun-tahun diketahui oleh aparat dan sebagian warga merasa terbantu dengan adanya tempat kerangkeng tersebut. Ini menunjukkan bahwa lemahnya perlindungan negara terhadap pekerja, sehingga menyebabkan terjadinya perbudakan kepada para pekerja. Serta gagalnya negara menyokong penuh sarana pemulihan dari narkoba, sehingga ide untuk membuat tempat rehab sendiri ada di benak beberapa orang tertentu dan hal inipun tak luput dijadikan sebagai sebuah alasan untuk membenarkan tindakan perbudakan kepada para pekerja.
Sangat berbeda dengan sistem Islam, yakni Khilafah. Penerapan Khilafah secara praktis oleh institusi negara akan membawa kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam, sebab hukum yang diterapkan dalam sistem ini berupa seperangkat aturan Islam yang datang dari Pencipta manusia. Manusia hanya bertugas untuk menerima amanah untuk menjalankan aturan tersebut sebaik mungkin.
Oleh karena itu di dalam Islam, sanksi tak akan pilih kasih sebagaimana hukum demokrasi-sekuler yang ada pada saat ini. Dalam kasus ini terjadi pelanggaran hak-hak atas pekerja dan hak asasi manusia. Dalam Khilafah terdapat jaminan kepada para pekerja dalam akad ijarah. Hal tersebut mencakup jaminan keselamatan, jam kerja, upah, dan sebagainya. Apabila pihak penegak hukum seperti polisi dan sejenisnya mendapati tindakan yang sampai mengancam jiwa, maka akan segera ditindak lanjuti dan akan dikenakan sanksi yang sesuai dengan apa yang terjadi. Jika pelanggaran tersebut sampai menghilangkan dan mengancam manusia maka sanksi yang akan ditegakkan adalah qishas sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran atas hak-hak pekerja, maka hukumannya ta’zir. Dimana hukum yang diputuskan berdasarkan ijtihad qadhi berdasarkan hukum syariat.
Penerapan sistem sanksi dalam Islam oleh Khilafah memiliki ciri khas yakni sebagai zawajir atau pencegahan, sehingga orang lain tidak akan mengikuti tindakan kejahatan yang sama dan jawabir sebagai penebus dosa atas tindak kejahatan yang dilakukannya. Wallahu a’lam bishshawab. [ah/LM]