Salah Fokus Penanganan Pandemi, Sasaran Empuk Penyebaran Virus

Oleh: Apriliana
(Komunitas Annisaa Ganesha)

 

Lensamedianews-com–  Jumlah pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit belakangan ini meningkat tajam. Hal tersebut sebanding dengan adanya peningkatan kasus Covid-19 varian baru yang pada Kamis (3/2) kemarin jumlahnya tercatat sudah menembus sampai 27.000 kasus dalam sehari, sejak pertama kali diumumkan adanya kasus varian baru Omicron. (inews.id)

Di tengah kembali melonjaknya kasus Covid-19 akibat varian Omicron, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan surat edaran terbaru terkait pelaksanaan kegiatan peribadahan di rumah ibadah. Menag meminta rumah ibadah memperketat prokes. Dalam Surat Edaran Nomor SE. 04 Tahun 2022 tersebut, disebutkan bahwa pengurus dan pengelola tempat ibadah harus memberlakukan jarak maksimal satu meter antarjemaah dalam peribadahan salat, dengan memberikan tanda khusus pada lantai, halaman, atau kursi. Selain itu, kegiatan peribadahan atau keagamaan paling lama dilaksanakan selama satu jam. Pengurus dan pengelola tempat ibadah juga wajib memastikan pelaksanaan khutbah, ceramah, atau tausiyah memenuhi ketentuan yaitu digunakannya masker dan pelindung wajah atau face shield dengan baik dan benar, serta khutbah disampaikan dengan durasi paling lama 15 menit. (CNN Indonesia)

Kenaikan kembali kasus Covid seharusnya menjadi warning kepada pemerintah untuk benar-benar serius menerapkan kebijakan penanganan dan penguncian wilayah. Testing, tracing, treatment (3T) harusnya dilakukan secara masif dan menyeluruh agar pemerintah dapat segera memisahkan orang-orang sakit dari yang sehat. Namun faktanya, respon awal kebijakan yang muncul justru adalah pembatasan beribadah seperti yang disebutkan di atas. Pertanyaannya, bagaimana dengan aktivitas di ruang publik lainnya seperti mall dan tempat hiburan? Justru mobilisasi dan kerumunan terjadi besar-besaran di tempat wisata di masa liburan ini atau tiap weekend. Tentu hal ini akan menjadi ‘sasaran empuk’ virus untuk menyebar dengan cepat dari satu manusia ke manusia lain.

Alih-alih membuat kebijakan bagaimana caranya rakyat semakin menaati protokol kesehatan dan melakukan 3T semakin masif, respon awal kebijakan pemerintah yang dikeluarkan malah hanya menyoroti aktivitas ibadah. Akibat ketimpangan kebijakan yang tidak merata ini, akhirnya banyak yang melihat kebijakan terkait Covid-19 ini cenderung bertendensi untuk menghalangi umat muslim beribadah saja. Kesalahan fokus penanganan seperti ini dapat mendorong semakin banyak masyarakat untuk melanggar protokol kesehatan. Apakah karena tempat wisata bisa menjadi sumber pemasukan daerah sehingga aturan prokes tidak seketat di tempat ibadah yang tidak ada uangnya? Beginilah nasib negara yang menjadikan uang di atas segala-galanya (baca: sistem kapitalisme).

Dalam Islam, kepala negara akan segera melakukan 3T dan memisahkan orang sehat dari orang sakit. Segala bentuk tes yang dilakukan dan juga pengobatan bagi mereka yang terinfeksi akan dijamin oleh negara secara gratis (bukannya malah dibiniskan oleh penguasanya seperti yang terjadi di negeri ini). Dalam hal beribadah pun akan diberlakukan kebijakan yang adil, orang yang sakit tetap melakukannya di rumah masing-masing demi mencegah penularan penyakit. Negara juga akan berupaya maksimal untuk mencegah penyakit meluas dengan cara membatasi wilayah sumber penyakit, sehingga masyarakat pada daerah yang tidak terkena wabah dapat menjalankan aktivitas secara normal, seperti aktivitas jual-beli, beribadah, dan . Di sisi lain, negara juga menjalankan kewajiban pemenuhan kebutuhan asasi masyarakat yang sedang dalam wilayah karantina (karena tidak bisa bekerja), menjamin pengobatan yang maksimal, dan juga mendukung penuh penelitian untuk segera menemukan obat. Rasul saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Wallahu a’lam bishshawab. [ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis