Hukuman Mati, Layakkah Bagi Pelaku Kejahatan Seksual?

Oleh: Khansa Mustaniratun Nisa

(Mentor Kajian Remaja)

 

Lensa Media News – Setelah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang ustaz di salah satu pondok pesantren di kota Bandung, baru- baru ini kasus serupa terjadi di wilayah Kabupaten Bandung sebagaimana dirilis Pasjabar.com (12/01/2022). Pondok pesantren tempat pencabulan oleh oknum ustaz di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat, resmi ditutup dan dicabut legalitas hukumnya oleh Kementrian Agama Kabupaten Bandung.

Atas perbuatan kejinya itu, pimpinan pesantren di Kecamatan Ciparay dijerat Pasal 81 dan 82 Undang-undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun pidana. Sementara Herry Wirawan oknum ustaz pelaku pencabulan terhadap santriwati di pondok pesantrennya, didakwa dengan hukuman mati oleh Kajati Provinsi Jawa Barat. Namun ironisnya, dakwaan jaksa ini menuai pro dan kontra.  Bagi yang setuju terhadap tuntutan hukuman mati, merasa bahwa ini adalah momentum yang tepat untuk memberi efek jera bagi pelaku. Namun bagi yang kontra terutama Komnas HAM, mereka menganggap hukuman mati telah melanggar HAM yaitu hak untuk hidup.

Sanksi penutupan pesantren tidak menjamin pencabulan terhadap santri akan berhenti. Sebab akar masalahnya bukan pada pesantrennya, tapi karena sistem sekuler yang menghilangkan  hubungan transendental (idrak sillah billah) sebagai landasan hidup. Beginilah hidup dalam kungkungan demokrasi-sekuler. Dimana benar dan salah, baik dan buruk, hingga memutuskan hukum pun semua diukur oleh pandangan manusia. Alhasil untuk masalah yang sangat jelas butuh ketegasan, masih saja terjadi polemik (perdebatan).

Di sisi lain, liberalisme pun turut andil mengacaukan sistem pergaulan saat ini, dengan dalih serba bebas dan serba boleh. Hingga akhirnya merebak lah kasus kejahatan seksual. Dan mirisnya lagi, kondisi ini diperparah oleh budaya masyarakat cuek yang jauh dari amar ma’ruf nahi munkar.

Oleh sebab itu, penyelesaian masalah pencabulan harus diselesaikan dari akarnya. Jika tidak, maka akan terus bermunculan kasus serupa seperti halnya membersihkan sampah di sungai tapi budaya buang sampah di sungai dibiarkan.

Islam memiliki sistem sanksi tegas bagi semua pelanggar hukum, terutama di sini pelaku kejahatan seksual. Jika pelakunya muhshan (sudah menikah) sanksinya adalah had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati. Jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah), sanksinya berupa jilid (cambuk) 100 kali dan diasingkan setahun. Semua dilakukan di khalayak umum, dalam artian tidak di tempat tertutup.

Dengan sanksi tegas ini, atas izin Allah, akan menjadi penebus dosa bagi pelakunya dan mampu memberi efek jera bagi yang menyaksikannya. Dari semua ini, masihkah kita berharap pada sistem demokrasi-sekuler yang telah jelas gagal menerapkan keadilan hukum?

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis