Pajak, Kebijakan Zalim Sistem Kapitalisme
Lensa Media News, Surat Pembaca- Pemimpin baru negeri ini telah terpilih sejak Oktober 2024. Tentunya rakyat berharap perubahan yang berarti segera terjadi. Namun sayang, harapan menjadi sirna dengan adanya kebijakan pemerintah per 1 Januari 2025 menaikkan tarif Pajak Penambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Tak disangkal, kebijakan pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme. Oleh karena itu, penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Pajak dalam sistem ini menjadi sumber dana pembangunan yang akan diterapkan kepada siapa saja karena merupakan kewajiban rakyat. Ironis, kapitalisme tidak berlaku adil kepada rakyat. Alhasil, rakyat kebanyakan menjadi tambah sengsara.
Hal tersebut terkait dengan peran negara dalam kapitalisme. Negara berperan sebagai regulator dan fasilitator sering berpihak kepada para pengusaha dan abai kepada rakyat. Pengusaha mendapat kebijakan keringanan pajak, sementara rakyat dibebani berbagai pajak yang makin memberatkan hidupnya.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menetapkan negara sebagai raa’in yang mengurus rakyat, memenuhi kebutuhannya dan mensejahterakan, serta membuat kebijakan yang membuat rakyat hidup tenteram. Sistem ekonomi Islam menetapkan aturan kepemilikan dan menjadikan sumber kekayaan alam sebagai milik umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan berbagai mekanisme yang diatur syarak.
Dalam Islam, sumber daya alam hanya salah satu sumber pemasukan negara. Selain itu negara memiliki berbagai sumber pemasukan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu. Sementara itu pajak merupakan alternatif terakhir dipungut oleh negara dalam kondisi kas negara kosong dan ada kewajiban negara yang harus ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, dan hanya dipungut pada rakyat yang mampu/kaya. Islam menentukan kondisi kapan negara boleh memungut pajak, bukan menjadikan pajak sebagai urat nadi perekonomian sehingga setiap saat rakyat yang justru dikorbankan untuk membayar pajak.
Dian Agus Rini, S.E.
[LM, Hw]