Islam and Leadership from The Golden Era


Oleh : Mega Puspita

 

Lensamedianews.com__ Hari Ahad, 29 Desember 2024 Komunitas Remaja ‘Smart With Islam Bandung’ menyelenggarakan kajian di Masjid Ar-Rahmah, Sukaati Bandung, dengan judul kajian ‘Islam And Leadership From The Golden Era ‘.

 

Kajian dimulai pukul 09.00 yang dipandu oleh Teh Nabila sebagai MC dan pemateri Teh Mega. Materi kajian yang berjudul Islam And Leadership From The Golden Era ‘ ini bertujuan agar peserta memahami konsep pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam.

 

Di awal sebagai pembuka, pemateri memaparkan isu yang sedang ramai di bicarakan di masyarakat, yaitu soal kenaikan pajak PPN 12%. Hampir semua masyarakat menolak kebijakan kenaikan pajak ini, termasuk dari kalangan gen z.

 

Pada tanggal 19 Desember 2024, demonstrasi menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen berlangsung di seberang Istana Merdeka. Berbagai aspirasi disuarakan massa aksi, termasuk jerit suara hati dari gen Z. Menurut mereka kenaikan ini akan berpengaruh terhadap sektor-sektor hiburan bagi kaum gen Z.

 

Teh Mega juga menjelaskan dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme. Memang tidak dimungkiri bahwa dalam Islam juga dikenal adanya pajak dengan istilah “dharibah”. Akan tetapi penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129)

 

Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal (kas negara). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. Sangat bertolak belakang ketika kita bandingkan konsep pajak sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Dalam sistem kapitalisme, pajak dibebankan kepada seluruh rakyat dan barang-barang tertentu sehingga berpotensi terjadi kezaliman terhadap rakyat.

 

Sudah sepatutnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan Rasulullah saw. tentang pemimpin yang menyusahkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut nasibnya kelak di akhirat yang abadi.

 

Rasul saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada ia.” (HR Muslim dan Ahmad).

 

Juga bagi pemimpin yang seharusnya memenuhi semua kebutuhan rakyat, tetapi ia menahannya. Peringatan Rasulullah saw., “Siapa saja yang mengurusi urusan masyarakat, lalu ia menutup diri dari orang yang lemah dan membutuhkan, niscaya Allah menutup diri dari dirinya pada Hari Kiamat.” (HR Muslim)

 

Berbeda dengan pemimpin-pemimpin di era keemasan Islam, yang bisa membuat rakyat sejahtera tanpa pajak, di antaranya :

1. Rasulullah Saw. menyediakan pendidikan untuk kaum Muslim dan memberikan gaji yang layak untuk para pengajar.

2. Masa Khalifah Umar bin Khattab , Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat di Yaman, lalu Guru di Madinah digaji masing-¬masing 15 dinar (1 dinar = 4,25 gr emas) per bulan, lebih dari 30 juta rupiah.

3. Khalifah berikutnya, Utsman bin Affan ra., memberikan insentif 1 (satu) dirham setiap hari untuk kaum muslim selama Ramadan.

4. Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).

 

Menurut pemateri, kesejahteraan tersebut hanya bisa terjadi ketika ada seorang pemimpin yang ideal, lalu bagaimana sosok pemimpin tersebut?
Ada di dalam QS Al-Ahzab ayat 21 yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.“

 

Dilanjutkan dengan mentadabburi QS An-Nisa ayat 59 yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).

 

Imam Asy-Syaukani berkata ketika menafsirkan QS An-Nisa: 59,
“Ulul amri adalah para imam, para sultan, para qadhi, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’i, bukan kekuasaan bangsa taghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556).

 

Ayat tersebut memerintahkan kaum muslim agar menaati pemimpin/penguasa. Namun, siapakah dan apakah ciri-ciri penguasa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut?
Berdasarkan lafaz “min kum” (dari kalangan kalian), maksudnya adalah ulul amri dari kalangan kaum muslim secara keseluruhannya

 

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna athii’ullah (taatlah kepada Allah) adalah ikutilah Kitab-Nya. Wa-athii’ur-Rasul (taatlah kepada Rasul) bermakna berpegang teguhlah pada sunah Rasul. Wa ulul amri min-kum (dan ululamri di antara kalian) bermakna apa saja yang mereka perintahkan kepada kalian, selama dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya.
Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah. Disebutkan dalam hadis sahih, “Ketaatan itu hanya berlaku dalam hal yang makruf.” (HR Bukhari).

 

Pemerintah dan kepemimpinan adalah perkara penting dan genting.
Sungguh, simpul-simpul Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali satu simpul terlepas, orang-orang bergantung pada simpul berikutnya. Yang pertama terlepas adalah al-hukm (pemerintahan/hukum) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad dalam kitab Al Mustadrak ash-Shahihain).
Maka, wajib mengangkat seorang pemimpin yang mengatur urusan kaum muslimin.

 

Syara’ menentukan tanggung jawab umum seorang pemimpin
Dalam kitab Syakhsiyyah jilid 2 karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan tanggung jawab umum seorang pemimpin dibagi ke dalam:
1. Karakter yang melekat pada dirinya (profil) yaitu kuat, bertakwa, lemah lembut/welas asih.
2. Hubungan dengan rakyat yaitu:

Asy-Syâri’ telah memerintahkannya agar senantiasa memperhatikan rakyatnya memberinya nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum, dan mewajibkannya agar memerintah rakyat dengan Islam saja tanpa yang lain. (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Al-Islamiyah juz 2, hal 161)

2.1 Melingkupi rakyat dengan nasihat
Artinya: “Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia tidak memperhatikan mereka dengan nasehat, kecuali dia tidak akan mendapatkan bau surga.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhâri, no 6617)

2.2 Tidak menyentuh harta milik umum
Diriwayatkan dari Abu Hamid Al-Sa’idi, bahwa Nabi saw. menugaskan Ibnu Lutaibah untuk mengurusi zakat Bani Sulaim. Ketika dia sampai kepada Rasulullah saw. dan membuat perhitungan dengan beliau, dia berkata: “Yang ini milikmu, dan yang ini hadiah yang dihadiahkan kepadaku.” Maka, Rasulullah saw. berkata: “Kenapa kamu tidak duduk saja di rumah ayahmu dan rumah ibumu, sampai datang kepadamu hadiahmu, jika kamu benar?”

Lalu Rasulullah saw. berdiri dan berbicara kepada orang-orang. Beliau bersyukur kepada Allah dan memuji-Nya, lalu berkata, “Amma ba’du. Sesungguhnya aku menugaskan beberapa orang laki-laki di antara kalian untuk mengurusi hal-hal yang dikuasakan kepadaku oleh Allah. Lalu salah seorang dari kalian datang dan berkata:Kenapa dia tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, sampai datang kepadanya hadiah, jika dia benar? Demi Allah, tidak seseorang pun dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali dia akan menanggungnya pada hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhâri ).

 

Pemimpin wajib memerintah dengan Islam
1. Asy-Syâri’ mewajibkannya untuk memerintah dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dan memberikan kepadanya hak untuk berijtihad dalam keduanya, serta melarangnya untuk melirik kepada selain Islam atau mengambil sesuatu pun dari selain Islam.

2. Pembatasan hukum dengan Al-Qurân dan Sunnah tampak jelas dari ayat-ayat Al- Qurân, “Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS Al-Mâidah [5]: 44)

Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik.” (QS Al-Maidah [5]: 45)

Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka adalah orang-orang zalim.” (QS Al-Maidah [5]: 47)
Yang diturunkan Allah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Please follow and like us:

Tentang Penulis