Jaminan Sertifikasi Halal: Kewajiban Siapa?


Oleh: Perwita Lesmana

 

LenSa MediaNews__ Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Muhammad Aqil Irham mengungkapkan, pelaku usaha wajib mempunyai sertifikat halal. Pada masa penerapan pertama aturan ini yang berakhir 17 Oktober 2024. Ada tiga kelompok pedagang yang wajib memiliki sertifikat halal terhadap produk yang dijualnya. Pertama, pedagang produk makanan dan minuman. Kedua, pedagang bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, pedagang produk hasil sembelihan dan pemilik jasa penyembelihan (Kompas.com, 2 Februari 2024)

 

Aturan untuk sertifikasi halal berlaku untuk semua pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima di pinggir jalan. Produk tanpa sertifikat halal berpotensi mendapatkan sanksi. Sanksi yang akan diberikan dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Saksi tersebut diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam PP Nomor 39 tahun 2021 (Kompas.com, 2 Februari 2024).

 

Pemerintah saat ini memang memberikan fasilitas berupa sejuta sertifikat gratis bagi pelaku UMK. Namun, jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah UMKM di Indonesia yang berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM mencapai 65,47 juta. Dengan fasilitas sertifikat gratis sebanyak satu juta, berarti ada 64,47 juta UMKM yang harus membayar untuk mengurus sertifikat halal.

 

Melalui Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 Tahun 2021, tarif sertifikasi halal reguler bagi UMK adalah sebesar Rp650.000. Biaya tersebut terdiri dari biaya pendaftaran dan penetapan kehalalan produk sebesar Rp300.000, dan biaya pemeriksaan kehalalan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sebesar Rp350.000 (bpjph.halal.go.id).

 

Biaya tersebut cukup besar jika harus dikeluarkan oleh pedagang kaki lima yang omzetnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi jika hal ini diwajibkan dan ada sanksi yang akan diterima jika melanggar. Jika aturan ini nanti dijalankan, hal ini memaksa pedagang untuk memiliki sertifikasi halal jika ingin terus berjualan.

 

Bagi mayoritas pedagang kaki lima tentu ingin produknya memiliki sertifikasi halal. Karena tentu menambah kepercayaan pembeli dan menaikkan omzet penjualan. Namun, bila harus mengeluarkan biaya, tidak semua pedagang mampu.

 

Di negara yang menerapkan sistem kapitalisme, semua hal yang bernilai bisnis adalah peluang termasuk juga perkara sertifikasi halal. Tidak peduli dengan kondisi masyarakat yang serba kesulitan. Pedagang juga dibebani biaya produksi tinggi, pajak, dsb.

 

Padahal bagi seorang muslim, jaminan halal pada setiap produk adalah wajib. Allah mewajibkan umat Islam untuk mengonsumsi produk halal. Hal ini berdasarkan firman-Nya dalam QS Al-Baqarah: 168,

Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu ”.

 

Apalagi dampak mengkonsumsi makanan haram ini bukan hanya berdampak pada kehidupan dunia tapi juga akhirat. “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram kecuali neraka lebih utama untuknya”(HR At-Tirmidzi)

 

Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh rambutnya kusut, mukanya berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku! Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram maka bagaimanakah akan diterimanya doa itu?” (HR Muslim)

 

Memastikan sebuah produk halal, apalagi sudah berbentuk olahan makanan bukan hal yang mudah jika dilakukan oleh individu semata. Dalam Islam, jaminan halal produk adalah kewajiban negara. Negara memastikan kehalalan dari hulu ke hilir. Dari bahan baku hingga menjadi produk siap dikonsumsi. Negara akan menugaskan para Qadi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Tidak semata-mata bahan bakunya, tapi cara pengolahannya, titik kritis halal olahan makanan dan semua hal yang berkaitan akan diawasi.

 

Negara menjamin produk beredar hanya produk yang halal. Jika ada produk haram maka itu hanya untuk kalangan tertentu saja. Jadi yang akan ditandai hanyalah produk haram, mengingat jumlahnya sangat sedikit dan ini lebih mudah untuk diidentifikasi. Masyarakat atau konsumen juga tidak merasa was-was lagi. Karena efek dari apapun yang tidak halal akan mendatangkan mudharat jiwa dan raga, dunia dan akhirat. Pedagangpun tidak perlu sibuk mendapatkan sertifikasi halal apalagi harus membayar dengan nominal tertentu.

 

Negara yang bisa bertanggung jawab penuh terhadap tugas penjaminan kehalalan ini hanya Khilafah yang berlandaskan akidah Islam. Sedangkan negara di sistem kapitalisme justru mengambil manfaat dari rakyat yang seharusnya ia jaga. Wallahua’lam bishshawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis