Kohabitasi: Jalan Keluar, atau ke Laut?

Oleh: Shafayasmin Salsabila 

MIMم_Muslimah Indramayu Menulis 

 

LenSaMediaNews.com__Diberitakan di laman CBNC Indonesia (12-10-2024) terkait meroketnya tren kohabitasi di dalam masyarakat Indonesia. Padahal negeri kita mayoritas muslim dan dikenal lekat dengan budaya ketimuran. Kohabitasi kerap diistilahkan dengan “kumpul kebo”. Di mana, sepasang manusia dewasa hidup seatap tanpa ikatan pernikahan yang sah. Dalam KUHP baru, kohabitasi didefinisikan hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan.

 

Awalnya Tabu, kok Sekarang Laku? 

 

Kohabitasi diaminkan oleh anak-anak muda saat ini dikarenakan adanya pergeseran pandangan terhadap pernikahan. Sebagian dari mereka menganggap pernikahan sebagai perkara normatif hampa makna. Sekadar formalitas, demi meredam suara berisik dari sekitar, yang kerap memburu dengan pertanyaan: “Kapan nikah?”

 

Belum lagi viral ungkapan “marriage is scarry”, di berbagai media sosial. Kasus-kasus selebritas seputar KDRT, perselingkuhan, perceraian, atau pun drama-drama di jagat perfilman yang menggoreng sisi gelap dunia rumah tangga, menumpuk setiap saat, menggeser dan membentuk persepsi baru soal pernikahan.

 

Tak ayal, mereka menduga kohabitasi sebagai jalan ke luar paling bijaksana. Terpenting adalah masing-masing pasangaan sepakat dan tidak ada yang merasa dirugikan. Dan sayangnya, lingkungan sekitar malah ikut manggut-manggut, menormalisasi praktik haram ini.

 

Kohabitasi Bukan dari Islam

 

Ada yang hilang dari benak kaum Muslim, terutama anak-anak mudanya. Islam tak lagi dipeluk, tapi dijadikan aksesori, sekadar simbol, atau paling tidak sebagai “adem-adem” hati saja. Bila benar dipeluk, semestinya Islam selalu bersamanya, di mana pun ia berada. Kenyataannya, ber-Islam pilih-pilih tempat dan waktu. Datang ke pengajian berhijab sempurna, namun pada saat berwisata ke air terjun, mendaki gunung, atau berenang, hijab ditanggalkan. Contoh lainnya, salat tak pernah ditinggalkan, namun saat berbisnis atau bekerja bersinggungan dengan praktik riba.

 

Hal tersebut disebabkan hilangnya kesadaran akan posisi Islam sebagai mabda. Dalam buku “Peraturan Hidup dalam Islam” karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, dijelaskan bahwa Islam bukan hanya serentetan tata cara ibadah ritual. Namun di dalamnya terdapat fikrah dan thariqah.

 

Fikrah berarti di dalam Islam terkandung ide-ide, konsep, pemikiran dan serangkaian pandangan tentang kehidupan. Pemikiran berbasis keimanan, yang menuntun kepada terpecahkannya setiap permasalahan. Singkatnya fikrah berbicara tentang “isi kepala”. Sedangkan thariqah itu sendiri berupa metodologi agar fikrah bisa terealisasikan. Seibarat “galah” untuk memetik buah di ranting pohon yang tinggi. Seindah-indahnya fikrah yang dimiliki Islam, tanpa thariqah-nya maka tidak akan mampu ternikmati secara sempurna.

 

Karena Islam mengandung fikrah, maka bagi setiap Muslim, wajib memahami dan mengenali setiap ‘isme-isme’ yang bergentayangan dalam jagat sekuler-kapitalis saat ini. Karena setiap ide tidaklah bebas nilai. Maka menyikapi praktik kohabitasi, pertama kali perlu dipikirkan dari mana ide ini berasal.

 

Lampu Merah Kohabitasi: Hentikan Segera! 

 

Hidup bersama tanpa ikatan suci pernikahan, tentu bukan ajaran dari Islam. Ide ini malah berasal dari Barat dengan pijakan sekularisme-nya. Sejak awal Islam sudah bicara soal batasan pergaulan pria dan perempuan, terutama yang sudah baligh. Pertemuan di antara keduanya harus dalam satu keperluan tertentu yang diperbolehkan. Dilarang ber-ikhtilat atau campur baur, dan dilarang pula ber-khalwat atau menyepi berdua, sehingga pendampingan bagi seorang perempuan menjadi hal penting dalam Islam, apalagi saat safar atau bepergian jauh sehari semalam.

 

Islam meminta kepada pria juga perempuan Muslim untuk menjaga pandangan (gadhul bashar). Penglihatan yang disertai iman, maka ia tidak akan berani memandang yang Allah haramkan atasnya.

 

Pola interaksi seperti ini dapat meminimalisir buncahan syahwat. Kalaupun ketertarikan terhadap lawan jenis itu muncul dan tidak dapat dilerai maka hanya dua jawaban, jika tidak dengan menahan lewat berpuasa, maka menikah menjadi jalan teraman. Dan tentu ini membutuhkan serangkaian ilmu dan pemahaman. Terutama konsep bahwa pernikahan adalah bagian dari ibadah (terpanjang). Di dalamnya serupa universitas kehidupan, suami dan istri selalu belajar dan bersinergi demi gapai mardhotillah (rida dari Allah SWT). Jika hak dan kewajiban masing-masing selaras dengan syariat, maka sakinah akan niscaya.

 

Dan terakhir, Islam sudah dengan sangat tegas melarang perzinahan. Hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, jelas melanggar banyak aturannya Allah. Praktik ini berasal dari ide kufur, datang dari luar Islam. Banyak bahaya laten di dalamnya. Jika ada yang berdalih karena takut kepada komitmen, maka perlu diingat, jika tidak di dunia, satu takdir yang pasti akan disemai di akhirat. Jika maksiat -apapun bentuknya- dianggap sebagai jalan keluar, sejatinya itu hanyalah jalan menuju ke lautan siksa api neraka. Allah murka pada manusia yang melewati batas.

 

Sudah selayaknya kita menciptakan suasana nyaman, dengan menyepakati hidup sesuai fikrah dan thariqah Islam, baik pada tataran individu, masyarakat juga negara. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis