Negarawan Hakiki, Menyudahi Janji Manis Pilkada
Oleh : Ummu Rifazi, M.Si
LenSa Media News–Masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 telah dimulai sejak tanggal 25 September 2024, berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pelaksanaan masa unjuk diri pasangan calon (paslon) ini akan berlangsung selama dua bulan, sebelum memasuki hari pemungutan suara.
Ragam gaya ditunjukan oleh paslon Kota Bogor, untuk menarik perhatian dan simpati masyarakat. Dari mulai menawarkan program unggulan DOKI (tim Dokter Ontrog Ka Imah) merekrut dokter dan bidan untuk datang ke rumah warga, menghadriri Maulid Nabi dan mengunjungi pasien, hingga berjanji mengalokasikan dana Rp 100 juta untuk setiap Rukun Warga (RW) di Kota Bogor jika berhasil memenangkan Pilkada 2024 (radarbogor.jawapos.com, 29-09-2024).
Memanfaatkan Figur Publik di Setiap Eleksi
Janji membuai berparadigma pragmatis, hanya akan menyelesaikan persoalan secara parsial di tataran teknis. Program yang dipropagandakan berpotensi menjadi mega proyek. Sudah bisa diprediksi bakal membutuhkan dana fantastis. Ujung-ujungnya butuh dukungan swasta alias para kapitalis.
Fenomena tersebut merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi batil. Karena petahana bukan seorang negarawan, melainkan para praktisi sesuai bidang keahliannya. Lazimnya mereka adalah sosok berprestasi dalam profesinya. Acapkali sisi yang menonjol inilah yang dimanfaatkan oleh banyak pihak berkepentingan politik sebagai perpanjangan tangan meraih kekuasaan.
Ketika petahana berhasil memenangkan pertarungan Pilkada, para kapitalis pendukungnya akan melanggeng mendukung berbagai program yang dipropagandakan. Kedudukan kapitalis makin kuat, peran negara semakin minim.
Para kapitalis akan selalu mengejar keuntungan. Siapa lagi yang akan menjadi korban abadi bagi misi profit mereka, kalau bukan rakyat jelata? Ironinya rakyat tak menyadari hal ini. Karena rendahnya taraf berpikir mereka, hasil didikan sistem batil yang menuhankan materi.
Dalam kungkungan sistem materialistis ini, rakyat jelata mudah dibujuk dengan segala hal yang berbau materi. Walaupun jumlah uang yang ditawarkan tak seberapa dan bersifat sementara, mereka ringan saja menjual suaranya dalam Pilkada.
Alhasil masyarakat negeri kaum muslimin ini justru semakin melanggengkan sistem demokrasi batil. Kian terpuruk dalam sekularitas, semakin jauh dari tuntunan syariat dan rahmat Allah.
Halal dan haram tidak lagi dipedulikan, karena asas kebebasan yang akan menjadi landasan setiap perbuatan. Kemaksiatan akan makin merajalela, menyeret semua di sekitarnya dalam kehinaan. Jika tak segera disudahi, maka adzab Allah siap menanti di yaumil akhir.
Allah telah memperingatkan konsekuensi berhukum pada sistem batil sebagaimana firmanNya yang artinya ,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik“. (TQS Al-Maidah:49).
Sistem Sahih Melahirkan Negarawan Hakiki
Berbeda dengan sistem demokrasi yang menyesatkan dan mudah disiasati, Syariat Islam yang agung telah menjamin umatnya untuk mendapatkan hak diriayah dalam pemerintahan yang amanah.
Sosok yang diamanahi menjadi pemimpin umat, akan menjalankan tugasnya berlandaskan iman dan ketakwaan pada Allah . Mereka meriayah umat berdasarkan syariat Islam yang mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.,“ Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakat yang dipimpinnya“. (HR. Bukhari dan Muslim).
Syariat Islam akan menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, dengan mengamanahkan jabatan ataupun kekuasaan kepada yang sosok yang kompeten.
Sebagaimana firmanNya yang artinya, “Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil“(TQS an-Nisa : 58).
Jabatan maupun kekuasaan juga tidak akan diberikan kepada seseorang yang mempunyai ambisi atasnya. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, ” Kami, demi Allah, tidak akan mengangkat atas tugas (jabatan) ini seorang pun yang memintanya dan yang berambisi terhadapnya“. (HR. Muslim). Maasyaa Allah, allahummanshuril bil Islam, wallahualam bissawab. [LM/ry].