Apa pun Masalahnya, Moderasi (Bukan) Solusinya
Oleh Ummu Zhafran
Pegiat literasi
LenSa MediaNews__ Beberapa waktu lalu, digelar sosialisasi moderasi beragama di madrasah-madrasah. Kegiatan tersebut dihadiri Ibu negara dan Organisasi Aksi Solidaritas Kabinet Indonesia Maju (OASE-KIM). Menyasar para pelajar, program ini bertujuan menanamkan nilai moderasi sejak dini. Ada pun tujuan utamanya sebagaimana yang diberitakan, adalah mengantarkan siswa menjadi pribadi moderat, terbuka dan siap hidup rukun berdampingan dengan masyarakat yang memiliki latar belakang suku, agama dan budaya yang berbeda. (kompas.com, 11-9-2024)
Cukup menggelitik karena apa yang tertuang dalam berita di atas terdengar mirip dengan apa yang dirumuskan oleh Rand Corporation, sebuah lembaga think-thank asal Amerika Serikat. Mereka menulis dalam salah satu buku yang memuat rekomendasinya, Building Moderate Moslem Networks, bahwa muslim moderat adalah mereka yang pro terhadap demokrasi dan HAM internasional. Termasuk di dalamnya, mengakui persamaan gender dan kebebasan beribadah, respek terhadap perbedaan, setuju terhadap sumber hukum yang non-sektarian dan menentang terorisme dan segala bentuk kekerasan berlandas agama. (rand.org, 2007)
Wajar bila sebagian kalangan aktivis Islam menaruh dugaan bahwa keduanya berasal dari sumber yang sama, sama-sama merupakan rekomendasi dari Barat. Artinya, bukan dari Islam. Dengan sendirinya belum tentu menjawab apa yang dibutuhkan umat muslim sejak dini. Faktanya, di tengah sengkarut problem yang simultan menimpa generasi muda, masalah intoleransi dan radikalisasi berbasis agama tak pernah jadi yang terdepan.
Sementara penyalahgunaan narkoba, judi online, seks bebas, perundungan hingga pembunuhan yang dilakukan dan menimpa anak dan orang tua makin marak bahkan telah sampai pada level darurat. Pertanyaannya, mengapa justru moderasi yang masif dilakukan sosialisasi? Seolah bisa jadi solusi, padahal berisiko tak lebih dari sekedar basa-basi.
Terkait hal ini, analisis mencerahkan datang dari cendekiawan muslim, Ustaz Ismail Yusanto (UIY). Menurutnya, saat ini memang tengah berjalan sebuah proyek besar pesanan Barat yang disebut moderasi agama. Sasaran utamanya, Islam dan umat Islam tentunya. Sudah tentu proyek ini tidak digagas begitu saja, melainkan melalui rangkaian studi dan kajian.
Karena Barat menilai, setelah runtuhnya komunisme, tantangan mendatang bagi hegemoni barat adalah Islam. Agar tak menjelma menjadi ancaman, dunia Islam harus dibuat ramah, menerima terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional yang konon katanya untuk menciptakan perdamaian global. (mediaumat, 2022)
Jelaslah rekomendasi dari Rand Corporation di atas cukup jadi bukti. Sejak awal yang dituju adalah mencetak figur moderat yaitu muslim yang siap menerima, mengadopsi, menyebarkan dan menjalankan pemahaman Islam sesuai yang diinginkan Barat. Tak peduli bila risikonya justru dapat membahayakan generasi muslim sejak dini. Antara lain tampak dari degradasi moral, gaya hidup bebas yang mengabaikan perkara halal dan haram hingga yang utama, tergerusnya keimanan karena menganggap semua agama sama dan benar, tiada bedanya.
Alangkah lucunya, di negeri dengan mayoritas penganut Islam justru ajaran Islam ingin dikebiri dengan ide moderat. Seakan-akan masih ada yang kurang dari syariat Allah Swt., hingga masih perlu diajarkan bagaimana cara hidup rukun, menerima perbedaan dan bertoleransi dengan yang berbeda agama. Padahal Allah Swt. berfirman dalam surah At Taubah ayat 33,
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.”
Kebenaran sesungguhnya hanya milik Allah Swt. Islam diturunkan sebagai pedoman dan agama yang benar, yang mendatangkan manfaat tak hanya di dunia melainkan sampai ke akhirat yang kekal adanya. (Tafsir Imam Ibnu Katsir)
Bukankah hal ini juga berarti tidak ada pilihan selain tunduk pada apa yang Rasulullah saw. diutus dengannya, yaitu Al-Qur’an dan sunahnya meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya Baginda Nabi Muhammad saw.?
Pada akhirnya tampak terang benderang, Islam tidak mengenal adanya moderasi. Toleransi yang diajarkan Islam pun sangat berbeda dengan moderasi. Tegas saja, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Hal ini tentu tak berarti harus mengakui semua agama itu sama hingga kebablasan jadi benar semua. Sebab tanpa seperti itu pun, Islam memang Allah Swt. Telah tetapkan sebagai rahmatan lil alamin, dengan satu syarat, diterapkan secara kafah bukannya dipilih dan dipilah. Wallahua’lam.