Bangun Rumah Sendiri, Dipajakin?
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
LenSa Media News–Aturan pajak kian menyesakkan dada. Beragam kebutuhan hidup ditetapkan pajaknya. Mulai dari penghasilan, pertambahan nilai hingga bangun rumah pribadi pun dikenakan pajak. Tak pelak, aturan ini pun kian men yusahkan masyarakat.
Aturan terkait pengaturan penetapan pajak tertuang dalam UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak. Melalui kebijakan tersebut, diamanatkan tarif PPN akan dinaikkan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025 (kompas.com, 15-9-2024). Aturan ini pun berlaku untuk pembelian rumah hingga pembangunan rumah secara pribadi tanpa kontraktor.
Pajak pertambahan nilai membangun rumah sendiri bakal naik. Yang awalnya 2,2 persen menjadi 2,4 persen mulai tahun 2025 (cnnindonesia.com, 13-9-2024). Kegiatan membangun yang dimaksud termasuk kegiatan perluasan bangunan. Akan tetapi, kebijakan ini berlaku pada bangunan yang memenuhi kriteria, yakni konstruksi bangunan berasal dari batu-bata, beton, kayu, dan atau sejenisnya, bangunan yang dibangun adalah rumah tinggal atau tempat usaha, luas bangunan yang dibangun minimal memiliki luas 200 meter persegi.
Paradigma Absurd
Betapa sulitnya masyarakat memiliki tempat tinggal. Ada beberapa fokus yang dapat digarisbawahi terkait kenaikan pajak pertambahan yang berimbas pada kenaikan pajak dalam membangun rumah atau bangunan.
Pertama, sistem yang kini diadopsi dan dijadikan aturan adalah sistem yang menjadikan pajak sebagai salah satu instrumen utama pendapatan negara. Wajar saja, saat semua keperluan rakyat, termasuk kepentingan tempat tinggal ditetapkan pajak. Segala kebijakan ini ditetapkan dengan harapan, sistem ekonomi semakin membaik. Namun sayang, justru yang terjadi sebaliknya. Rakyat makin susah dengan penetapan pajak di berbagai bidang. Alhasil, perekonomian makin keok.
Kedua, penetapan pajak yang mengatur pungutan pajak bagi bangunan rakyat menjadikan rakyat kian terpuruk. Begitu banyak rakyat tidak memiliki tempat tinggal tetap yang layak. Segala bentuk kebutuhan mahal. Fakta ini pun kian diperparah dengan badai PHK yang belum juga menepi. Sementara rakyat yang terkategori mampu secara finansial, dikenakan pajak tinggi saat membangun rumah. Jelaslah negara telah gagal mengurusi rakyatnya.
Inilah dampak yang ditimbulkan karena pengaturan urusan rakyat disandarkan pada sistem kapitalisme liberal. Sistem yang hanya menyandarkan aturan pada keuntungan materi. Sistem ini menempatkan kebutuhan rakyat sebagai obyek eksploitasi. Kebutuhan rakyat dikapitalisasi. Rakyat diposisikan sebagai beban. Pandangan ini menjadikan negara telah abai dan melepaskan tanggung jawabnya pada urusan penjagaan rakyat.
Dalam sistem rusak ini, negara hanya hadir sebagai penyokong proyek kapitalis oportunis. Parahnya lagi, negara pun memposisikan dirinya sebagai regulator yang memuluskan kepentingan kapitalis. Segala bentuk regulasi yang ditetapkan hanya diorientasikan demi keuntungan para pemilik modal. Dampaknya langsung dirasakan rakyat. Setiap kesulitan bertubi-tubi menyerang rakyat.
Pengaturan Islam
Sistem Islam menetapkan pengaturan yang amanah dalam setiap urusan rakyat. Sistem yang bijaksana akan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat secara optimal melalui regulasi negara. Paradigma ini hanya mampu terwujud dalam tatanan sistem Islam dalam wadah institusi khilafah. Satu-satunya institusi yang menempatkan kebutuhan rakyat sebagai prioritas layanan utama.
Rasulullah SAW. bersabda, “Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya” (HR. Al Bukhori). Sistem Islam menerapkan sistem ekonomi Islam yang mampu menjamin kesejahteraan seluruh rakyat. Dengan konsep ekonomi yang bijaksana, negara akan menyediakan pekerjaan bagi rakyat dengan gaji yang layak.
Khilafah akan menjamin ketersediaan pekerjaan sehingga setiap kebutuhan rakyat mampu terpenuhi optimal. Negara mampu optimal memposisikan institusi sebagai pengurus rakyat.
Khilafah akan menjamin kebutuhan tempat tinggal rakyat melalui berbagai strategi dan mekanisme. Diantaranya terdapat hukum-hukum syarak terkait pemanfaatan lahan. Seperti larangan penelantaran lahan, hukum menghidupkan lahan mati (ihya al amwat), tahdzir (memperingatkan rakyat yang mengabaikan tanah/lahan) dan iqtha‘ (pemberian tanah oleh negara kepada rakyat). Tidak hanya itu, khilafah pun melarang pungutan pajak tanah terhadap tanah kepemilikan rakyat.
Khilafah memiliki sumber pendapatan negara yang berasal dari kepemilikan umum, sehingga tidak butuh pajak. Metode inilah yang menjadikan khilafah sebagai bentuk institusi anti pajak. Kecuali saat negara darurat dan kondisi baitul maal kosong. Dalam keadaan tersebut, khilafah pun tidak memungut pajak pada seluruh rakyat, melainkan hanya pada rakyat yang terkategori mampu secara ekonomi.
Demikianlah Islam menjaga kepentingan umat. Konsepnya yang mengutamakan urusan rakyat, meniscayakan rahmat yang melimpah bagi seluruh umat. Wallahualam bissawwab. [LM/ry].