Penguasa Tapi Penikung
Oleh : Nunik Umma Fayha
LenSa Media News–Demokrasi dari rakyat untuk rakyat? Nonsense! Lihatlah dinamika Pilkada saat ini. Parpol merasa yang paling paham masalah sekaligus solusinya sehingga menganggap rakyat tidak perlu didengar atau ditanya. Parpol yang dijadikan harapan justru menjadi penikung harapan rakyat.
Mereka tidak memperhitungkan rakyat dalam membuat keputusan, karena merasa kuat dan berkuasa. Mereka tidak meminta saran rakyat karena merasa paling paham dan tahu solusi. Belum lagi sistem kepartaian yang mayoritas mengandalkan figur bahkan seperti pemilik partai yang bebas mengatur dan memutuskan.
Elman Saragih, anggota dewan Redaksi Media Indonesia dalam editorial Media Indonesia (metrotv.com, 03-09-2024), bertajuk “Kaderisasi Gagal Demokrasi Pincang”, menyebut kegagalan kaderisasi memicu salah satunya kemunculan fenomena 43 daerah penyelenggara Pilkada hanya memiliki calon tunggal.
Petahana melawan kotak kosong karena kuatnya petahana jadi fakta umum. Sementara Haykal, peneliti Perludem menyampaikan dalam Selamat Pagi Indonesia (metrotv, 03-09-2024), Pilkada mengikut arus Pemilu. Partai berkoalisi gemuk di salah satu paslon dukungan partai berkuasa. Hal ini terjadi baik karena mencari jalan aman maupun demi pembagian kekuasaan.
Partai Di Menara Gading
Menara gading menurut wikipedia berarti tempat-tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan dan tempat yang memberi kesempatan untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Perumpamaan yang pas disematkan bagi partai politik saat ini.
Bagaimana tidak, mereka diberi kesempatan dan dana untuk menyerap aspirasi masyarakat, tapi setiap membuat keputusan jauh panggang dari api. Apa yang dibutuhkan rakyat justru tak tersentuh bahkan bertolak belakang, seperti penetapan UU Ciptaker.
Kali ini Pilkada yang menjadi titik pisah. Rakyat hanya dijadikan korban syahwat kekuasaan. Bisik-bisik di belakang menguatkan pandangan pengamat politik bahwa kontestasi Pilkada ini penuh sandiwara dengan skenario tingkat tinggi.
Ada yang bermain cantik ada yang dijadikan korban bahkan kambing hitam. Rakyat yang ingin golput karena kecewa dengan calon pilihan partai harus meringis dengan kesadaran adanya maling suara di TPS. Sungguh simalakama.
Kekuasaan dalam Islam
Politik dalam Islam adalah riayah suunil ummah. Siapa pun yang mendapat amanah jabatan harus melakukan tugas mengurus umat bukan mengurus diri sendiri, kelompok apa lagi keluarga.
Ustaz Yusanto dalam UIY channel, 27-08-2024, bertajuk “Politik Islam vs Politik Sekuler” menyebut bahwa hidup untuk ibadah maka berpolitik juga untuk ibadah. Saat ini yang terjadi Politik digunakan untuk berbagai kepentingan, meninggalkan ketentuan halal haram serta etika dan moralitas.
Sementara itu Ustaz Shiddiq Al Jawi dalam alwaie.net/hiwar (27-06-2024), menyebut 2 tujuan besar politik dalam Islam yaitu mewujudkan pemimpin yang baik dan mewujudkan sistem yang baik. Yang dimaksud sistem di sini termasuk segala peraturan hidup baik dalam pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pergaulan juga politik luar negeri harus berdasar syariat Islam.
Jabatan atau kekuasaan adalah amanah yang akan dihisab kelak jadi di dalamnya tidak boleh lepas dari moralitas dan spiritualitas, dalam hal ini kapabilitas dan tentu saja Iman. The right man in the right place sehingga tidak boleh asal dipilih.
Karena kroni, keluarga, bukan alasan memilih seorang pemimpin. Rasulullah Saw. pernah menolak Abi Dzar Al-Ghifari karena dianggap lemah dan tidak kapabel. Padahal Abi Dzar adalah seorang sahabat yang dikenal keilmuan dan kezuhudannya.
Jadi sangat jelas batasan memilih pemimpin dengan syariat Islam. Tidak akan dipilih calon pejabat bila tidak punya kemampuan dan kekuatan iman, sebab tanpa keduanya seorang pejabat bisa dimakan anak buah yang culas, digerogoti oleh pendukung yang sibuk mencari muka.
Jabatan harus diniatkan sebagai Amanah yang harus ditunaikan dan bisa dipertanggungjawabkan di mahkamah hisab, bukan justru untuk menikung rakyat.Wallahu musta’an. [ LM/ry].